Sabtu, 19 Juli 2014

Sepeda Motor dan Bis Sekolah

Pengguna sepeda motor dari tahun ke tahun semakin meningkat, pada tahun 2014 ini jumlah sepeda motor di Indonesia lebih dari 85 juta unit. Kendaraan roda dua ini banyak menjadi pilihan karena praktis dan murah.
Sepeda motor dapat melaju di jalan padat maupun sempit. Biaya yang dikelurkan juga lebih murah dari kedaraan umum ataupun mobil pribadi. Untuk mendapatkan sepeda motor juga murah dan prosesnya cepat, dengan uang muka 500 ribu dan mengisi administrasi kurang dari sehari kita sudah dapat membawa pulang si kuda besi. Variasi model dan harga sepeda motor juga banyak sehingga bisa disesuaikan dengan kebutuhan dan keuangan.
Sayangnya perkembangan dan kemudahan mendapatkan sepeda motor tidak diimbangi dengan kesadaran penggunanya. Sepeda motor juga menyumbang angka kecelakaan lalu lintas yang tinggi, mungkin juga berperan dalam menurunkan jumlah penduduk di Indonesia. Banyak pelanggaran berupa kebut kebutan, balapan liar, pengendara tanpa helm atau sirat kelengkapan seperti sim dan stnk, pengendara dibawah umur dan lain - lain.
Orang tua dan masyarakat seperti tutup mata dan telingga pada sarat pengendara sepeda motor harus memiliki sim. Banyak orang tua mengijinkan anaknya yang masih berusia dibawah 16 tahun mengendarai sepeda motor, bahkan saya sering melihat anak SD mengendarai sepeda motor.
Bahkan sekolah sebagai institusi pendidikan bisa dibuat tak berdaya mencegah murid dibawah umur mengendarai kendaraan bermotor (atau tepatnya tidak tegas). Ini kasus di sekolah saya mengajar, sebuah SMP swasta, mungkin juga di beberapa sekolah lain. Aturan pemerintah sudah jelas melarang siswa smp mengendarai sepeda motor, aturan dinas pendidikan juga jelas melarang siswa smp membawa sepeda motor ke sekolah. Dengan mengijinkan anak dibawah umur dan tidak memiliki sim membawa sepeda motor, orang tua dan sekolah yang seharusnya mendidik karakter anak tanpa sadar malah membunuh karakter taat pada aturan dan disiplin.
Dulu pernah kami melarang anak-anak mengendarai sepeda motor, akibatnya beberapa anak tidak mau sekolah. Sekolah kami memang jauh dari jangkauan kendaraan umum dengan kontur tanah naik turun, sekolahan kami di lereng gunung sumbing. Anak yang rumahnya jauh tentu kelelahan jika harus selalu jalan kaki ke sekolah sementara orang tua mereka tidak mempunyai waktu untuk antar jemput ke sekolah. Saya saja tidak sanggup jika harus jalan kaki dari sekolah ke rumah murid yang paling jauh.
Akhirnya sekolah mengijinkan murid mengendarai sepeda motor ke sekolah dengan catatan sepeda motor tidak dibawa masuk ke lingkungan sekolah. Anak-anak lalu menitipkan sepeda motor di rumah terdekat dan kantor balai desa yang hanya berjarak beberapa meter dari sekolah. Ternyata hal ini masih menimbulkan masalah. Saat istirahat anak sering keluar dan terlambat masuk, anak-anak mengendarai sepeda motor di jam istirahat dan muncul keluhan dari warga. Selain itu perangkat desa juga mengeluh karena parkir sepeda motor di balai desa menjadi tidak rapi.
Akhirnya anak yang rumahnya jauh kembali diijinkan membawa sepeda motor ke sekolah serta wajib memarkir di kendaraannya di sekolah. Sepeda motor baru boleh diambil setelah jam pelajaran usai atau dengan ijin khusus. Anak-anak menjadi lebih terkontrol dalam penggunaan sepeda motor.
Untuk mengurangi penggunaan sepeda motor saat ini telah dilakukan mobil antar jemput untuk satu rute perjalanan, yaitu dari desa Marongsari ke sekolah di desa Batursari. Mobil yang digunakan adalah mobil bak terbuka milik salah satu komite sekolah.
Saya usul bagaimana jika parkir sekolah untuk siswa dikenakan tarif? Dan diberlakukan untuk semua sekolah. Nantinya uang yang terkumpul bisa digunakan untuk menambah biaya operasional kendaraan antar jemput sekolah. Jika kendaraan antar jemput sekolah bertarif sangat murah tentu akan banyak anak yang lebih memilih menggunakan mobil jemputaan. Mungkin kalau disekolah saya yang kecil, tambahan biaya operasional bisa digunakan untuk menambah jalur kendaraan antar jemput supaya pada akhirnya tidak ada lagi anak yang menggunakan sepeda motor ke sekolah.
Kalau untuk sekolah-sekolah besar setingkat SMA dengan jumlah murid ratusan, yang memang mengendarai sepeda motor bagi murid adalah legal mungkin uang parkir yang terkumpul bisa untuk membeli bis sekolah. Saya lihat pada sekolah setingkat SMA murid yang menggendarai sepeda motor lebih dari 100. Jika biaya parkir sehari 500 rupiah berarti sehari 50 ribu, seminggu 300 ribu, sebulan 1,2 juta. Setahun bisa mencapai 12 juta, jumlah yang tidak sedikit, dan impian memiliki bis sekolah bukanlah impian kosong.
Saat sekolah telah memiliki bis sekolah jumlah pengendara sepeda motor bisa ditekan dengan mewajibkan murid yang terjangku bis sekolah untuk menggunakan bis sekolah. Tarif bis sekolah juga harus lebih rendah atau minimal sama dengan kendaraan umum, bis sekolah tetap akan lebih unggul karena anak dijamin tidak akan terlambat ke sekolah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar