Kamis, 22 Mei 2014

Pelitnya, Sampah Saja Enggan Dibuang

 
Sudah lama saya ingin menulis pengalaman ini tetapi karena berbagai kesibukan akhirnya terlupakan, dan baru kemarin teringat karena perbincangan kecil di facebook. saya akan berbagi sampah, eh salah maksutnya bagaimana cara saya memanfaatkan sampah.

teringat juga beberapa teman yang tertarik dan heran dengan polibag ku yang putih metalik, bebrapa sempat bertanya "Polibagnya unik dan bagus beli dimana?" 
"beli di rita, itu polibag mahal. Bonusnya aja susu formula hehehe" padahal itu bekas kemasan susu ponakan.

Sebagai anak desa yang besar di rumah dengan banyak pekarangan disekitarnya saya tak pernah direpotkan dengan pemikiran tentang sampah. Sampah organik cukup dibuang di kebun. Walau setiap hari memproduksi sampah, keberadaan sampah organik di kebun tak pernah mengganggu. Tak ada bau tak sedap ataupun tikus dan kecoak yang hadir karena sampah. Bahkan keberadaan sampah sangat menguntungkan, tanah menjadi subur dan hasil kebun berlimpah. Rumpun pisang yang disekitarnya banyak sampah akan menghasilkan buah yang lebih besar, begitu juga umbi-umbian yang ditanam tumpang sari akan menghasilkan umbi yang lebih besar pula.
Sedangkan untuk sampah plastik biasa dibakar, sedikit mengganggu. Asap yang berbau akan merusak lingkungan tapi tak ada tetangga yang protes karena jarak rumah satu dengan rumah lainnya berjauhan. sampah kaleng, botol, logam dan kertas bisa dikumpulkan dan diberikan kepada pemulung.
Tahun 2003 saya hijrah ke Purwokerto untuk kuliah. Mulailah kehidupan baru. Kos dilingkungan yang sesak, lahan kosong yang langka. Dan sampahpun mulai memberi sedikit masalah. Telat buang sampah akan menyebabkan bau, atau jika lewat dekat tempat sampah umum tercium bau tak sedap. Semua sudah ada yang bertanggug jawab. Setiap hari bergiliran dengan teman kos yang lain membuang sampah ke tempat sampah umum di depan kos, "piket sampah". Nanti sudah ada tukang sampah yang akan memindahkan sampah ke TPA, kita tinggal iuran sampah dan iuran uang setiap bulan, semua beres!!
Ide pemanfaatan sampah baru terpikir setelah bekerja dan tinggal di lingkungan tidak padat tapi tidak punya kebun serta tak ada tukang sampah, sumpah saya bingung sampah-sampah mau dikemanakan. Tanya-tanya ke tetangga mereka biasa membuang sampah ke saluran air depan rumah, miris tapi bagaimana lagi sayapun mengikuti hehe... pernah juga membakar sampah dan akibatnya tetangga sebelah komplen dengan asap yang tanpa sengaja saya ekspor ke rumahnya.
Lama-lama jenuh juga dengan pertentangan hati tentang cara penanganan sampah, kadang ngalahi sampah ditampung lalu dibuang ke tempat sampah di pasar yang tak jauh dari tempat tinggalku. saya ini seorang guru IPA, sarjana Biologi yang selalu mengajarkan ke anak-anak bagaimana menjaga lingkungan salah satunya eh bukan tapi salah duanya tidak membuang sampah ke sungai dan tidak membakar sampah la kok malah saya melakukan dua perbuatan tercela itu. Settt!!! diam ya jangan bongkar rahasia ini ke muridku, nanti mereka tidak percaya lagi dengan guru imut ini.

Akhirnya muncul ide penanganan sampah dari kesulitan salah satu hobiku, berkebun.
Biasa hidup dilingkungan hijau dengan tanah subur melimpah disekitarku dan pupuk kandang tinggal ambil di kandang ayam atau kandang kambing milik sendiri, atau ambil dari kandang kerbau dan sapi milik tetangga hahaha. Saat itu harus tinggal di rumah tanpa kebun dengan tanah tandus disekitarku, sedih menanam apapun tumbuh kurus. Dan sekarang lebih menyedihkan lagi, tinggal di tengah kota yang hampir tak ada tanah terbuka, pafingisasi.
Ide awal muncul karena ingin menanam tanaman di pot tapi gak mau modal beli pot. plastik bekas minyak kemasan dan kantung aluminium bekas kemasan susu menjadi korbannya, mereka saya paksa bermetamorfosis menjadi polibag. Pernah juga mencoba menggunakan kantong plastik bekas belanja, kemasan detergen dan plastik-plastik bekas lainnya tapi hasilnya tidak memuaskan, cepat hancur dan bentuknya tidak menarik.

Berhubung tidak ada tanah subur dan sifat pelitku, eman-eman uangnya buat beli pupuk tapi pingin tanamanku tumbuh subur, saya manfaatkan sampah organik dari dapur sendiri. Berikut langkah-langkah penyaluran hobi dan sifat pelitku (yang bahkan semakin pelit karena sampahpun enggan kubagi):

1. Siapkan plastik bekas kemasan minyak, potong atasnya agar terbuka lalu cuci bersih. Untuk mencuci saya gunakan air sabun bekas mencuci pakaian agar minyak yang menempel hilang dan hemat sabun. Untuk kantong bekas susu cukup dicuci dengan air tanpa sabun, tanpa dicucipun tak apa hanya beresiko dikerubutin semut. Setelah bersih beri lubang-lubang kecil di bagian bawah wadah. Untuk kantong susu kemasan perlu di balik (wadah bagian dalam menjadi bagian luar) agar mudah berdiri.
2. Isikan sampah organik dari dapur (sisa sayur, nasi buah-buahan, cangkang telur dll) yang telah dipotong-potong hingga hampir penuh.
3. Tutup sampah dengan tanah agar tidak berbau dan tidak mengundang hewan liar. Kalau ada ambil tanah subur karena tanah subur mengandung mikroba yang akan mempercepat pembusukan.
4. Taruh wadah di luar ruangan pada tempat yang terlindung dari sinar matahari langsung dan air hujan.
5. Siram dengan air leri (bekas cucian beras). Sampah dengan kondisi basah tetapi tidak menggenang akan mempercepat pembusukan. Selain itu air leri juga mengandung banyak nutrisi yang diperlukan mikroba pembusuk dan akan menambah kesuburan tanah yang terbentuk.
6. Secara berkala tengok dan lihat kondisinya, biasanya setelah beberapa hari permukaannya akan turun. Jika permukaan turun bisa ditambahkan sampah atau ambil sampah dari tempat yang lain/digabung. Jika sampah kurang basah bisa disiram dengan air leri atau air biasa, kadang saya juga menggunakan air dari saluran air. Sedang kalau sampah mengandung air perlu ditambah lubang di bagian bawahnya. Dari pembusukan memang menghasilkan air, air yang terlalu banyak akan menyebabkan munculnya bau tak sedap. Jika wadah dipegang hangat berarti pembusukan berlangsung baik dan sampah perlu diaduk.
7. Setelah kurang lebih dua bulan/ Tergantung jenis sampah dan perlakuan kita polibag siap ditanami. Tanda-tanda sudah siap ditanami adalah jika sampah telah banyak yang berubah menjadi tanah, suhu tanah biasa dan tidak berbau (bau tanah). Jika sudah siap ditanami kita bisa menanam berbagai tanaman sesuai selera kita.

Jika diantara sampah yang kita gunakan ada cabai/tomat busuk biasanya kita akan mendapat bonus, yaitu akan tumbuh pohon cabai atau tomat dalam polibag kita, jika jumlahnya banyak perlu kita pindah ke polibag lain dan cukup sisakan satu atau dua tanaman. Tanaman yang tidak dipindah biasanya akan tumbuh lebih subur dari lainnya.
Biasanya satu atau dua polibag saya sisakan/tidak ditanami dan saya gunakan untuk menyebar bibit, yaitu jika ada cabai atau tomat busuk. Cabai atau tomat busuk diambil bijinya dan taruh di polibag, dan siram setiap hari (sifat pelit saya yang lain). Selain itu tanah dari polibag ini yang akan saya gunakan sebagai tanah penutup pada persiapan polibag selanjutnya.
Tanaman fovorit saya selain cabai, dan tomat adalah loncang. Nanam loncongnya juga dari loncang sisa memasak, kalau beli loncang pilih yang ada akarnya lalu potong sekitar dua senti dan kita tanam. Besok lagi kalau butuh loncang tinggal petik dari kebun sendiri.

sayang sekali sekarang saya tinggal dilingkungan padat yang hampir tak ada tanah terbuka dan tidak memiliki tempat menaruh polibag - polibag istimewa ini selain di tepi selokan. karena masih jarang tanaman dan banyak serangga yang hidup di selokan tanaman sayur-sayuran selalu habis diserang aneka serangga dan yang berhasil bertahan hidup aneka jahe-jahean. koleksi tanaman sayurku sekarang juga telah bermetamorfosa menjadi tanaman jahe-jahean. tak apalah, yang penting sama-sama bermanfaat.

Selamat mencoba, ayo kita jaga lingkungan. Sampah teratasi dan juga menyediakan kebutuhan dapur yang jelas murah dan sehat.
Bukan itu saja,lingkungan juga menjadi asri dan turut menjaga iklim dunia.
dengan menanam pohon, sekecil apapun kita telah turut menyediakan oksigen demi kelangsungan hidup Homosapien.

Tanamanku sekarang

polibag bonus susu, menumbuhkan strobery

potongan loncang yang baru ditanan dengan bibit bunga kemuning jepang

loncang dengan bibit tanaman buah eksotis (lupa namanya),
di polibag samping dapat bonus sawi yang baru tumbuh
sampah organik

Minggu, 18 Mei 2014

Perjalanan Rimba

Aku telah ada ratusan tahun lalu. Bersuksesi dari jaman karbon, menyumbang jutaan molekul oksigen yang turut memunahkan jutaan makhluk hidup anaerobic, merubah wujud dunia.
Hutan tropis Indonesia, tempat hidup jutaan satwa. Menyediakan segala kebutuhan. Kayu hutan kualitas nomer satu, hingga kayu bakar. Aneka buah dan hewan buruan, hingga flora faona eksotis. 
Penyumbang oksigen gratis, buffer perubahan iklim global. Apa bentuk terima kasih kita pada tangan Tuhan yang telah memberi kehidupan ini?
"Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman."
Penggalan lagu tentang suburnya negeri ini, lempar saja biji ke tanah, lima tahun kemudian hutan lebat yang akan kau temui.
Lagu ini sekarang kuartikan lain. Tanaman telah berganti dengan batu dan tonggak kayu (baca tanah tandus). Lihatlah hutan kita!! Tinggal menunggu waktu berubah menjadi padang pasir. Mudah- mudahan jangan terjadi.
Jutaan tahun waktu yang diperlukan untuk membentuk hutan tropis nan lebat, berapa tahun waktu untuk menghancurkannya?
Kalau ingin kiamat cukup dari Indonesia, kita tebanh seluruh pohon.
Jaman purba, jaman berburu dan meramu, tanah dan hutan melimpah. Manusia berhantung alam, alam memberikan semuanya. Saat daya dukung lingkungan menurun mulailah kehidupan bercocok tanam. Manusia berusaha memenuhi kebutuhannya. Alam masih lestari.
Jaman kolonialisme, bangsa asing silir berganti menguasai dan memperebutkan negara kaya ini. Bagaimana hutan kita? Masih kokoh berdiri hanya sebagian kecil yang berubah menjadi perkebunan. Jaman merdeka, saudara-saudara kita yang berkuasa, setiap hari, setiap jam bahkan setiap detik, setiap hembusan nafas selalu ada pohon ditebang. Proses penghancuran dunia. Ditangan saudara hutan kita hancur. Atau karena rasa memiiki kita yang terlalu besar? Ini hutan nenek moyangku, apapun bisa kulakukan. Ingatlah nenek moyang menjaga mereka, kearifan lokal telah mempertahankan paru-paru dunia.
Tak perlu salahkan perusahaan atau bangsa asing. Kitalah yang merusak hutan. Freport merusak ekosistem papua? Kitalah yang merusak, kitalah yang bersalah menjual tembagapura ke amerika.Bukan kita? Tapi pemimpin negri ini! Ingat sobat kita ikut bertanggung jawab, kitalah yang memilih mereka menjadi pemimpin. Aku tak ikut memillih! Tak memilih sama saja mengobral kepemimpinan pada siapapun yang menginginkannya, kaulah yang menjual negri ini.
Kelestarian alam, kelestarian manusia bukan tanggung jawab segelintir orang. Kita, kita semua ikut bertanggung jawab
Mirip sidik jari, sidik jari setan

Minggu, 04 Mei 2014

Blusukan : Repek


Blusuan di kebun, pengalaman yang langka bagi orang kota tapi jadi tempat bermain menyenangkan anak desa. Bukan Cuma bermain tapi juga mencari nafkah, gaya banget hehehe…. Saya sebenarnya dilarang ikut blusukan di kebon tapi apa daya itu lokasi permainan menyenangkan, Badan saya alergi, kalau habis blusukan seluruh badan bisa gata-gatal dan biduran jadi gak bisa menyangkal kalau tidak ikut blusukan.
Blusukan mencari makanan eksotis tanah kelahiranku (nggraga.com), repek (mencari kayu bakar), main bithungan (petak umpet), mencari gedobos (sejenis kacang-kacangan liar untuk di jual), mencari minjo atau hanya sekedar jalan-jalan.
Mencari kayu bakar atau disebut repek, sebenarnya tujuan utamanya bukan untuk mendapatkan kayu bakar tapi hanya untuk bersenang-senang. Rasanya bangga kalau mendapat banyak kayu bakar, padahal di rumahku kayu bakar sisa-sisa sampai jika ada saudara atau tetangga hajatan suka minta kayu bakar dari rumahku. Maklum bapakku tukang kayu jadi kayu sisa membuat aneka barang dari kayu melimpah.
Kayu bakar faforit pertama adalah “carang”, tangkai daun bambu. Di dessaya masih banyak kebun bambu yang dibiarkan tumbuh alami. Tangkai-tangkai daun bambu yang sidah kering atau disebut carang betebaran dibawah rumpun bambu, apalagi kalau bambunya habis di panen, sangat melimpah. Wujud carang persis seperti bambu hanya ukurannya kecil dan termasuk kayu yang mudah terbakar. Kalau tidak beruntung saat mengambil carang bisa terkena ‘lugut’, rambut-rambut halus dari pohon bambu yang rasanya sangat gatal. Walau gatal jangan dicuci dengan air karena akan semakin gatal, cukup gosokkan bagian yang gatal pada rambut. Ajaib rasa gatal akan hilang.
Jika musim kemarau duduk-duduk di bawah rumpun bambu sangat menyenangkan, ‘silir’ angin berhembus segar. Di bawah rimbun bambu seperti berkarpet hijau tebal nan lembut, penuh lumut spagnum hehe… ada lagi yang menyebalkan selain lugut yang gatel, yaitu ksayas. Ksayas atau tempat buang air besar dulu biasa dibuat di tengah kebun bambu. Dulu hanya sebagian kecil warga yang punya WC di rumah, bayangan orang pasti jorok dan bau. Bau kotoran manusia? Kalau Ternyata tidak!
Warga Indonesia tempo dulu mempunyai tradisi sendiri untuk buang air besar. Untuk daerah dengan air melimpah biasa membuat ksayas di atas kolam, ksayas plung lap, kotoran keluar masuk ke kolam (bunyinya, plung) terus dimakan ikan (lap : menghilang). Mungkin ini paling ramah lingkungan, tidak menimbulkan bau, merusak pemandangan dan bermanfaat hehehe…
Kembali ke ksayas di rimbunnya bambu. Ksayas ini dibuat dengan membuat lubang dan diberi bancian/tempat berpijak dari potongan bambu serta tepinya diberi pagar dengan anyaman bambu atau tanaman pagar. Orang dahulu memang cerdas-cerdas mereka bisa memilih membuat ksayas di antara pohon bambu sehingga tidak menimbulkan bau tidak sedap. Saya baru tahu setelah kuliah kalau ternyata sifat dari pohon bambu menyamarkan aroma. Kotoran manusia yang menumpuk akan terdegradasi dengan sendirinya. Aneka biji-bijian yang dimakan ternyata tidak hancur oleh pencernaan manusia dan akan tumbuh subur di sekitar ksayas jika musim hujan tiba. Mengambil bibit cabe, tomat, dan terong dari sekitar ksayas juga bagian dari blusukan di rumpun bambu. Ukuran tanaman di sini lebuh besar, maklum pupuk organiknya sangat melimpah hehehe…
Pesona rumpun bambu yang lain adalah aneka temu-temuan/jahe-jahean tumbuh subur diantara rumpun bambu. Dari temu ireng, temu giri, temu kunci dan temu-temuan lain yang bahkan belum saya temukan dalam daftar klasifikasi tumbuhan. Entah belum ada atau saya tidak melihat. Jadi kepikiran kenapa saya dulu gak penelitian “keragaman zingiberaceae di sekitar kebun bambu” saja ya? Temu-temuan ini laku dijual sebagai bahan obat (penghasilan tambahan tentunya), untuk temu kunci biasa untuk bumbu sayur bening. Sebuah kearifan lokal para blusuker, kami hanya mengambil rimpang yang telah besar dan membuang rimpang kecil sehingga rimpang yang kecil akan tumbuh kembali dan tidak mengalami kepunahan walaupun banyak yang mengambil tanpa berpikir (apalagi bertindak) untuk menanam.

Sasaran repek selanjutnya adalah blarak dan blungkeng. Blarak adalah sebutan untuk daun kelapa kering dan blungkeng sebutan untuk tangkai daun kelapanya. Sasaran lain adalah mancung atau bungkus bunga kelapa, cumplung atau buah kelapa muda yang jatuh biasanya kerena dimakan tupai. Soal perbendaharaan kata orang jawa terlalu kaya, dalam satu pohon kelapa ada banyak sekali sebutannya. Bonus dari repek bagian pohon kelapa adalah kelapa jatuh (jika beruntung), bisa lagi dijual sebagai tambahan penghasilan. Sasaran repek yang lain tidak terlalu menarik, mengambil aneka kayu dan ranting dari pohon apapun yang ditemui. Tentunya yang sudah mengering atau memisah dari pohon induk.

Baca juga
dawet ireng
pasar jenar pusat kuliner tradisional
tanah kelahiran 1 cengkawakrejo
brug wesi desa cengkawakrejo
tanah kelahiran 2 bogowonto
nggragase bocah ndeso 

Nggragase Bocah Ndeso


Apa bahasa Indonesia kata nggragas? Saya belum menemukan kata-kata yang pas. Intinya ngragas itu makan apa saja, tidak peduli layak dimakan atau tidak. Sebenarnya makanan itu tetap layak dimakan, cuma sekarang banyak alternatif makanan lain yang dikatakan lebih layak. Walau menurutku makanan yang sekarang dikatakan layak juga banyak yang sebenarnya tidak layak, malah luwih ngragas maneh. Contoh sederhana, sayuran mulus dikatakan lebih layak konsumsi dari pada yang bolong-bolong sisa dimakan ulat. Nyatanya sisa ulat lebih layak konsumsi, biasanya lebih sehat karena bebas pertisida, sementara yang mulus kandungan pestisidanya tinggi jadi gak layak konsumsi. Mosok uler wae ora doyan kok uwong malah seneng? Atau makanan berpengawet, bisa bertahan tanpa busuk dalam beberapa tahun, sebelum kadaluwarso layak dikonsumsi. tapi apa benar-benar layak? Jamur, bakteri, lalat tak sudi berdekatan dengan makanan tersebut tapi manusia malah mengagung-agungkannya (my opini).
Namanya juga bocah ndeso, sering main blusukan dan makan yang aneh-aneh. Tahu mandingan? Sejenis lamtoro/petai cina tapi ukurannya lebih kecil. Sering juga disebut lamtoro lokal. Buah yang masih muda dimakan dengan kulitnya. Kalau main sangunya garam. Buah mendingan digulung dengan garam ditengahnya lalu dimakan, rasane sepat. Kalau buah yang sudah tua dikupas dan dimakan bijinya, sedikit agak pedas. Buah lamporopun dimakan dengan cara seperti buah mandingan. Cuma makan lamtoro tidak berani banyak-banyak, kaena beracun. Pernah suatu saat bapak membawa ramban lamtoro (untuk makan kambing), pada ranting lamtoro terdapat banyak buah. Sambil duduk didekat kandang makan lamtoro, tidak terasa habis banyak lamtoro hasilnya pusing, mual dan muntah-muntah.
Babal kucing, tau babal? Babal adalah bunga nangka, babal kucing adalah bunga nangka berukuran kecil yang tidak akan menjadi buah. Anak yang besar di lingkungan dengan banyak pohon nangka tahu persis mana bunga nangka yang akan berkembang menjadi buah dan mana yang tidak (babal kucing). Babal kucing juga biasa dimakan dengan garam. Podo wae rasane sepet. Beda dengan lamtoro yang menyebabkan sakit, kalau babal malah bisa menyembuhkan sakit diare dan herpes.
Babal kucing juga enak dibuat rujak bebek. Babal, buah pace muda, buah pisang klutuk muda, wuni, dan buah-buahan lain dipotong kecil-kecil lalu ditumbuk dengan bumbu cabe, gula jawa, asam, dan garam. Enak pol!
Pace/mengkudu, belakangan ini tenar sebagai obat. Jauh sebelum terkenal sebagai obat orang desaku sudah biasa mengkonsumsi sebagai minuman. Buah yang matang baunya busuk, saya tidak suka. saya hanya doyan yang muda untuk rujak.
Pisang klutuk, kalau pisang tentu tidak asing ditelinga kita. Pisang klutuk biasanya ditanam untuk diambil daunnya. Konon daun pisang ini paling bagus untuk bungkus makanan. Buahnya sekilas sama dengan buah pisang biasa. Pisang klutuk muda memang biasa untuk rujak bebek. Kalau yang tua, rasa buahnya manis tapi sayang bijinya banyak sekali. Biasanya buah pisang ini tidak dikonsumsi, kalau sudah tua di buang atau paling banter buat pakan burung. Tapi namane wae bocah nggragas, kalau sedang bermain dan menemukan buah pisang klutuk matang ya kami lahap. Walau masih di pahon kami ambil yang punya tidak bakal merasa kehilangan.
Wuni, buah dengan rasa masam. Pohonnya merambat baik buah maupun daunnya mirip dengan sirih, kemukus,maupun merica. Buah muda berwarna hijau dalam satu tangkai ada banyak buah kecil-kecil, sedikit lebih besar dari merica. Semakin tua warnanya akan semakin merah dan rasanya tetap sama, masammmmmm……
Jangankan wuni yang berasa masam, buah asam pun kami makan. Lengkap dari asam muda sampai asam tua. Bahkan daun mudanya pun juga kami makan. Daun buah asam rasanya masam segar. Kalau asam muda kami makan sama klungsu-klungsunya (biji asam). Daun kedondong juga biasa saya makan rasanya masam segar.
Krontel atau mangga muda, jangan bayangkan mangga yang biasa untuk rujaan. Ini mangganya masih bayi paling hanya segede kemili. Rasanya jelas asam, untuk mengurangi rasa asam dimakan dengan garam. Makan dengan kulit-kulitnya.
Blimbing wulung yang super duper masam juga tak luput dari nggragasnya kami. Didekat sekolah ada yang punya pohon blimbing wulung, pulang sekolah saat panas-panas sering minta buahnya dan sensasi asamnya dinikmati sambil berjalan pulang.
Kok dari tadi makanannya gak ada yang enak? Ada kok, yang enak buat belakangan hehehe…
Cimplukan, anggur ndeso bahasa kerene. Buah sebesar kelereng dengan kelopak buah tetap menutupi buah hingga matang, termasuk herbacius, tanaman semusim. Buah muda berwarna hijau rasanya pahit, kalau sudah tua warnanya kuning dan manis. Cimplukan termasuk tumbuhan semusin dan banyak tumbuh liar di kebun-kebun ataupun tepi sungai. Kalau tempatnya kering saat pohonnya mati buah cimplukan bisa bertahan tidak busuk. Sekarang cimplukan juga banyak digunakan untuk obat.
Buah salam, daun salam biasa digunakan untuk bumbu dapur. Buahnya bulat kecil-kecil. Saat muda hijau, terus menjadi merah, terus menjadi ungu. Kalau sudah berwarna ungu rasanya manis. Dulu tetangga belakang rumah memiliki pohon salam besar, kalau musim berbuah kami berebu tbuah yang jatuh jika tertiup angin. Pemilik pohonpun sering berbaik hati memetikkan buah yang telah tua. Karena buahnya kecil-kecil biasanya langsung dipatahkan dengan ranting-rantingnya.
Selaput buah kopi. Kalau metik kopi, kulitnya dihisap-hisap, rasanya manis. Begitu juga selaput buah kakau/coklat, selaputnya dihisap-isap rasanya manis. Di daerahku tidak ada kebun kopi maupun kakau, kedua buah ini hanya ada beberapa buah di kebun penduduk. Asal buah dah matang kami boleh mengambil selaput buahnya tetapi bijinya kami tinggal di bawah pohonnya. Jadi nanti kalau pemilik pohon datang tinggal mengambil buah yang telah bersih dibawah pohonnya. Kami menikmati manisnya, petani menikmati bijinya. Semua merasa untung.
Duwet, arang jawa barat menyebutnya jamlang. Kalau sudah matang sebesar ruas jari, warna unggu dan rasa manis. Dulu banyak pohon duwet di kubun-kebun penduduk, kalau pas musim pulang sekolah pada berburu buah yang jatuh.
Kutilayu, saya tak menemukan buah ini lagi. Warna ungu dengan rasa manis sepat. Pohom kutilayu tingginya sekitar satu meteran, biasa digunakan sebagai pagar pembatas pekarangan. Pohon ini disukai hewan lembing, sejenis serangga yang mengeluarkan aroma sangit.
Jambu liar, jenis jambu air (kalau lihat gambar aneka jambu mirp dengan jambu mawar). Biasanya ditaman sebagai pagar. Buah berwarna hijau, ukurannya kecil dengan biji besar jadi bagian buah yang dimakan sangat sedikit dan rasanya tidak jauh beda dengan rasa rambu air yang lain. Ada juga jambu bol, kalau makan jambunya tidak aneh. Saya dulu tidak hanya makan jambunya tapi juga makan benang sarinya yang telah rontok. Benang sari yang masih segar diambili dan dimakan tanpa dicuci, rasanya sedikit asam. Lebih enak benang sari jambu bol merah dari pada yang putih.
Apa lagi ya… oya menghisap madu dari berbagai macam bunga. Entah namanya bunga apa saja, yang saya tahu namanya hanya bungga sepatu dan soka, terutama bunga berbentuk terompet dipetik, tidak dengan kelopaknya terus dihisap bagian bawahnya, rasanya manis. Jumlah madunya juga tidak sampai setetes, tapi bukankah lebah bisa mengumpulkan madu-madu itu hingga berliter-liter?
Kalau berburu buah jatuh saya lebih suka buah sisa kelelawar. Biasanya rasanya lebih enak dari buah yang biasa. Sebenarnya jorok ya?
Bukan Cuma dari hasil tumbuhan dari hewan juga ada. Kalau main di sungai biasa menangkap udang. Taruh saja udangnya di atas batu di pinggir kali yang terkena panas. Setelah warnanya menjadi merah artinya udang itu sudah matang, tinggal dimakan deh.
Saat main-main di sawah kadang menemukan telur burung kecil/emprit, taruh saja di ketiak. Gak sampai seperempat jam telurnya telah matang. Jorok memang, tapi nikmat…
Ulat turi, ulatnya gede. Lebih gede dari ibu jari. Ulat ini tidak jauh beda dengan ulat pada umumnya, tidak berbulu dengan tubuh lembek berair. Diolah dengan cara di bakar, untuk yang takut ulat berani mencoba? Kalau orang tua malah ada makanan yang lebih ekstrim (saya tidakmau) yaitu gendon atau ratu rayap ditelam bulat-bulat, kadang juga cindil tikus (anak tikus yang masih bayi dan berwarna merah) ini juga dimakan hidup-hidup.
Selain nggragas kadang nakal juga. Saat SD disekitar lapangan desa “alang-alang Ombo” adalah kebun tebu, kadang pelajaran olah raga dilakukan di lapangan tersebut. Setelah berpanas-panas dan berkeringat ria saatnya menikmati manisnya tebu. Sambil pulang ke sekolah mblusuk kebon dan mematahkan beberapa pohon tebu, lalu tancap gas sambil menikmati hasil curian. Kalau tidak ada mandor tebu kami bisa jalan santai saja tak pertu olah raga tambahan (lari).
Ada juga orang yang sangat pelit, punya pohon sawo dengan buah yang lebat tapi diminta tidak boleh. Akhirnya kami curi beramai-ramai, buahnya kami jatuhkan dengan ketapel. Selain ketapel kami juga sering menjatuhkan buah di kebun tetangga dengan “ngamper” yaitu melempar buah dengan potongan kayu kurang lebih sepanjang 25 cm (belajar konsentrasi dan ketangkasan).
Pohon jambu bangkok simbah saya ((adek simbah) juga tak luput dari jarahanku. Habis simbah pelit, jambunya berbuah lebat sampai banyak yang jatuh tapi anak-anak dilarang metik. Saya ndablek, kalau sedang sepi, jambunya saya petiki. Setelah dapat banyak baru masuk ke rumah dan bilang sudah metik jambu. Pasti kena omel, omelan masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Besoknya diulangi lagi dan simbah yang mosan ngomel. Bahkan berubah 180 derajat! Kalau buahnya banyak dan saya tidak datang-datang beliau yang datang kerumah menanyakan kabarku. beliau khawatir saya sakit jadi tidak bisa mencuri jambunya (GR hehe).
Kalau pas main dan merasa haus, juga minum seadanya. Dekat sumur ya ambil air sumur langsung di minum, dekat kalen/saluran air juga ambil di situ. Kalau sedang di sawah tinggal minum air sawah, sedang di sungai ya minum air sungai. Biarpun gragas, tapi tetap sehat dan banyak pengalaman.

Mendapat kesempatan merasakan nikmatnya biji salam jauh lebih berharga dari pada kesempatan merasakan nikmatnya burger. Mungkin suatu saat buah salam akan punah tak ada lagi kesempatan menikmati sensasi rasanya. Sedangkan burger dari tahun ke tahun rasanya akan terus mengalami penyempurnaan. Saya bangga dengan negri kaya ini…. Flora faona eksotis, saya merindukanmu.NGGRAGASE BOCAH NDESO
Apa bahasa Indonesia kata nggragas? Saya belum menemukan kata-kata yang pas. Intinya ngragas itu makan apa saja, tidak peduli layak dimakan atau tidak. Sebenarnya makanan itu tetap layak dimakan, cuma sekarang banyak alternatif makanan lain yang dikatakan lebih layak. Walau menurutku makanan yang sekarang dikatakan layak juga banyak yang sebenarnya tidak layak, malah luwih ngragas maneh. Contoh sederhana, sayuran mulus dikatakan lebih layak konsumsi dari pada yang bolong-bolong sisa dimakan ulat. Nyatanya sisa ulat lebih layak konsumsi, biasanya lebih sehat karena bebas pertisida, sementara yang mulus kandungan pestisidanya tinggi jadi gak layak konsumsi. Mosok uler wae ora doyan kok uwong malah seneng? Atau makanan berpengawet, bisa bertahan tanpa busuk dalam beberapa tahun, sebelum kadaluwarso layak dikonsumsi. tapi apa benar-benar layak? Jamur, bakteri, lalat tak sudi berdekatan dengan makanan tersebut tapi manusia malah mengagung-agungkannya (my opini).
Namanya juga bocah ndeso, sering main blusukan dan makan yang aneh-aneh. Tahu mandingan? Sejenis lamtoro/petai cina tapi ukurannya lebih kecil. Sering juga disebut lamtoro lokal. Buah yang masih muda dimakan dengan kulitnya. Kalau main sangunya garam. Buah mendingan digulung dengan garam ditengahnya lalu dimakan, rasane sepat. Kalau buah yang sudah tua dikupas dan dimakan bijinya, sedikit agak pedas. Buah lamporopun dimakan dengan cara seperti buah mandingan. Cuma makan lamtoro tidak berani banyak-banyak, kaena beracun. Pernah suatu saat bapak membawa ramban lamtoro (untuk makan kambing), pada ranting lamtoro terdapat banyak buah. Sambil duduk didekat kandang makan lamtoro, tidak terasa habis banyak lamtoro hasilnya pusing, mual dan muntah-muntah.
Babal kucing, tau babal? Babal adalah bunga nangka, babal kucing adalah bunga nangka berukuran kecil yang tidak akan menjadi buah. Anak yang besar di lingkungan dengan banyak pohon nangka tahu persis mana bunga nangka yang akan berkembang menjadi buah dan mana yang tidak (babal kucing). Babal kucing juga biasa dimakan dengan garam. Podo wae rasane sepet. Beda dengan lamtoro yang menyebabkan sakit, kalau babal malah bisa menyembuhkan sakit diare dan herpes.
Babal kucing juga enak dibuat rujak bebek. Babal, buah pace muda, buah pisang klutuk muda, wuni, dan buah-buahan lain dipotong kecil-kecil lalu ditumbuk dengan bumbu cabe, gula jawa, asam, dan garam. Enak pol!
Pace/mengkudu, belakangan ini tenar sebagai obat. Jauh sebelum terkenal sebagai obat orang desaku sudah biasa mengkonsumsi sebagai minuman. Buah yang matang baunya busuk, saya tidak suka. saya hanya doyan yang muda untuk rujak.
Pisang klutuk, kalau pisang tentu tidak asing ditelinga kita. Pisang klutuk biasanya ditanam untuk diambil daunnya. Konon daun pisang ini paling bagus untuk bungkus makanan. Buahnya sekilas sama dengan buah pisang biasa. Pisang klutuk muda memang biasa untuk rujak bebek. Kalau yang tua, rasa buahnya manis tapi sayang bijinya banyak sekali. Biasanya buah pisang ini tidak dikonsumsi, kalau sudah tua di buang atau paling banter buat pakan burung. Tapi namane wae bocah nggragas, kalau sedang bermain dan menemukan buah pisang klutuk matang ya kami lahap. Walau masih di pahon kami ambil yang punya tidak bakal merasa kehilangan.
Wuni, buah dengan rasa masam. Pohonnya merambat baik buah maupun daunnya mirip dengan sirih, kemukus,maupun merica. Buah muda berwarna hijau dalam satu tangkai ada banyak buah kecil-kecil, sedikit lebih besar dari merica. Semakin tua warnanya akan semakin merah dan rasanya tetap sama, masammmmmm……
Jangankan wuni yang berasa masam, buah asam pun kami makan. Lengkap dari asam muda sampai asam tua. Bahkan daun mudanya pun juga kami makan. Daun buah asam rasanya masam segar. Kalau asam muda kami makan sama klungsu-klungsunya (biji asam). Daun kedondong juga biasa saya makan rasanya masam segar.
Krontel atau mangga muda, jangan bayangkan mangga yang biasa untuk rujaan. Ini mangganya masih bayi paling hanya segede kemili. Rasanya jelas asam, untuk mengurangi rasa asam dimakan dengan garam. Makan dengan kulit-kulitnya.
Blimbing wulung yang super duper masam juga tak luput dari nggragasnya kami. Didekat sekolah ada yang punya pohon blimbing wulung, pulang sekolah saat panas-panas sering minta buahnya dan sensasi asamnya dinikmati sambil berjalan pulang.
Kok dari tadi makanannya gak ada yang enak? Ada kok, yang enak buat belakangan hehehe…
Cimplukan, anggur ndeso bahasa kerene. Buah sebesar kelereng dengan kelopak buah tetap menutupi buah hingga matang, termasuk herbacius, tanaman semusim. Buah muda berwarna hijau rasanya pahit, kalau sudah tua warnanya kuning dan manis. Cimplukan termasuk tumbuhan semusin dan banyak tumbuh liar di kebun-kebun ataupun tepi sungai. Kalau tempatnya kering saat pohonnya mati buah cimplukan bisa bertahan tidak busuk. Sekarang cimplukan juga banyak digunakan untuk obat.
Buah salam, daun salam biasa digunakan untuk bumbu dapur. Buahnya bulat kecil-kecil. Saat muda hijau, terus menjadi merah, terus menjadi ungu. Kalau sudah berwarna ungu rasanya manis. Dulu tetangga belakang rumah memiliki pohon salam besar, kalau musim berbuah kami berebu tbuah yang jatuh jika tertiup angin. Pemilik pohonpun sering berbaik hati memetikkan buah yang telah tua. Karena buahnya kecil-kecil biasanya langsung dipatahkan dengan ranting-rantingnya.
Selaput buah kopi. Kalau metik kopi, kulitnya dihisap-hisap, rasanya manis. Begitu juga selaput buah kakau/coklat, selaputnya dihisap-isap rasanya manis. Di daerahku tidak ada kebun kopi maupun kakau, kedua buah ini hanya ada beberapa buah di kebun penduduk. Asal buah dah matang kami boleh mengambil selaput buahnya tetapi bijinya kami tinggal di bawah pohonnya. Jadi nanti kalau pemilik pohon datang tinggal mengambil buah yang telah bersih dibawah pohonnya. Kami menikmati manisnya, petani menikmati bijinya. Semua merasa untung.
Duwet, arang jawa barat menyebutnya jamlang. Kalau sudah matang sebesar ruas jari, warna unggu dan rasa manis. Dulu banyak pohon duwet di kubun-kebun penduduk, kalau pas musim pulang sekolah pada berburu buah yang jatuh.
Kutilayu, saya tak menemukan buah ini lagi. Warna ungu dengan rasa manis sepat. Pohom kutilayu tingginya sekitar satu meteran, biasa digunakan sebagai pagar pembatas pekarangan. Pohon ini disukai hewan lembing, sejenis serangga yang mengeluarkan aroma sangit.
Jambu liar, jenis jambu air (kalau lihat gambar aneka jambu mirp dengan jambu mawar). Biasanya ditaman sebagai pagar. Buah berwarna hijau, ukurannya kecil dengan biji besar jadi bagian buah yang dimakan sangat sedikit dan rasanya tidak jauh beda dengan rasa rambu air yang lain. Ada juga jambu bol, kalau makan jambunya tidak aneh. Saya dulu tidak hanya makan jambunya tapi juga makan benang sarinya yang telah rontok. Benang sari yang masih segar diambili dan dimakan tanpa dicuci, rasanya sedikit asam. Lebih enak benang sari jambu bol merah dari pada yang putih.
Apa lagi ya… oya menghisap madu dari berbagai macam bunga. Entah namanya bunga apa saja, yang saya tahu namanya hanya bungga sepatu dan soka, terutama bunga berbentuk terompet dipetik, tidak dengan kelopaknya terus dihisap bagian bawahnya, rasanya manis. Jumlah madunya juga tidak sampai setetes, tapi bukankah lebah bisa mengumpulkan madu-madu itu hingga berliter-liter?
Kalau berburu buah jatuh saya lebih suka buah sisa kelelawar. Biasanya rasanya lebih enak dari buah yang biasa. Sebenarnya jorok ya?
Bukan Cuma dari hasil tumbuhan dari hewan juga ada. Kalau main di sungai biasa menangkap udang. Taruh saja udangnya di atas batu di pinggir kali yang terkena panas. Setelah warnanya menjadi merah artinya udang itu sudah matang, tinggal dimakan deh.
Saat main-main di sawah kadang menemukan telur burung kecil/emprit, taruh saja di ketiak. Gak sampai seperempat jam telurnya telah matang. Jorok memang, tapi nikmat…
Ulat turi, ulatnya gede. Lebih gede dari ibu jari. Ulat ini tidak jauh beda dengan ulat pada umumnya, tidak berbulu dengan tubuh lembek berair. Diolah dengan cara di bakar, untuk yang takut ulat berani mencoba? Kalau orang tua malah ada makanan yang lebih ekstrim (saya tidakmau) yaitu gendon atau ratu rayap ditelam bulat-bulat, kadang juga cindil tikus (anak tikus yang masih bayi dan berwarna merah) ini juga dimakan hidup-hidup.
Selain nggragas kadang nakal juga. Saat SD disekitar lapangan desa “alang-alang Ombo” adalah kebun tebu, kadang pelajaran olah raga dilakukan di lapangan tersebut. Setelah berpanas-panas dan berkeringat ria saatnya menikmati manisnya tebu. Sambil pulang ke sekolah mblusuk kebon dan mematahkan beberapa pohon tebu, lalu tancap gas sambil menikmati hasil curian. Kalau tidak ada mandor tebu kami bisa jalan santai saja tak pertu olah raga tambahan (lari).
Ada juga orang yang sangat pelit, punya pohon sawo dengan buah yang lebat tapi diminta tidak boleh. Akhirnya kami curi beramai-ramai, buahnya kami jatuhkan dengan ketapel. Selain ketapel kami juga sering menjatuhkan buah di kebun tetangga dengan “ngamper” yaitu melempar buah dengan potongan kayu kurang lebih sepanjang 25 cm (belajar konsentrasi dan ketangkasan).
Pohon jambu bangkok simbah saya ((adek simbah) juga tak luput dari jarahanku. Habis simbah pelit, jambunya berbuah lebat sampai banyak yang jatuh tapi anak-anak dilarang metik. Saya ndablek, kalau sedang sepi, jambunya saya petiki. Setelah dapat banyak baru masuk ke rumah dan bilang sudah metik jambu. Pasti kena omel, omelan masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Besoknya diulangi lagi dan simbah yang mosan ngomel. Bahkan berubah 180 derajat! Kalau buahnya banyak dan saya tidak datang-datang beliau yang datang kerumah menanyakan kabarku. beliau khawatir saya sakit jadi tidak bisa mencuri jambunya (GR hehe).
Kalau pas main dan merasa haus, juga minum seadanya. Dekat sumur ya ambil air sumur langsung di minum, dekat kalen/saluran air juga ambil di situ. Kalau sedang di sawah tinggal minum air sawah, sedang di sungai ya minum air sungai. Biarpun gragas, tapi tetap sehat dan banyak pengalaman.
Mendapat kesempatan merasakan nikmatnya biji salam jauh lebih berharga dari pada kesempatan merasakan nikmatnya burger. Mungkin suatu saat buah salam akan punah tak ada lagi kesempatan menikmati sensasi rasanya. Sedangkan burger dari tahun ke tahun rasanya akan terus mengalami penyempurnaan. Saya bangga dengan negri kaya ini…. Flora faona eksotis, saya merindukanmu.

tanah Kelahiran II : Bogowonto

Desa kelahiranku berada di tepi sungai Bogowonto. Dari rumahku ke timur akan bertemu kali Bogowonto, bagian kali yang dinamakan “Krapyak”. Ke arah utara juga akan bertemu kali Bogowonto, bagian ini disebut kedung bothol/buthul/ngelo. Entah apa maknanya. 

Saya akrab dengan suasana kedung botol walaupun tak berani masuk terlalu ke tengah karena dalam. Seperti namanya kedung, berarti bagian sungai yang dalam. Saya sendiri heran kenapa tidak berani berenang atau sekedar masuk ke air yang tingginya melebihin pusaran padahal dari kecil sudah terbiasa bermain di sungai. Bahkan bapak saya terkenal jago berenang dan menyelam. Kadang saya bertanya-tanya apakah dulu waktu kecil penah hanyut sehingga ada trauma/phobia dengan air apalagi jika arusnya deras. Kalau sekedar melihat saya senang tapi kalau disuruh masuk tak berani hehehe. 

Ada cerita ketakutanku pada air… saat kecil sering diajak ke desa tetangga dan harus menyebrang melalui talang (saluran air di atas sungai), saya selalu ketakutan dan harus di gandeng. Saat kuliah dengan teman teman ke pantai parangtritis, hampir semua orang dicegur-cegurin ke air. Saat mau nyegurin saya tidak tega lihan wajahku yang pusat pasi karena terkena ombak. Pernah juga main ke kali pelus di belakang kampus dan diajak menyebrang. Sebenarnya takut tapi karena desakan teman-teman akhirnya nekan ikut menyebrang. Entah bagaimana tau-tau saya telah hanyut di sungai padahal tinggi air gak nyampe sepinggang. Dasar wedi banyu.

Sungai bogowonto, bagian dari masa kecilku. Rumah simbah dari bapak berada di tepi sungai ini, dengan kedung buthul hanya dipisahkan rumpun-rumpun bambu. Sangat mudah mencari rumah peninggalan simbahku, rumah di pojok desa, belakang rumah sungai, sebelah kirinya komplek pemakaman dung buthul, sebelah kanan ada satu rumah milik adik simbah, kalau ke kanan lagi ada corah (jurang kecil) baru kemudian rumah-rumah yang lain.

Konon dulu arus sungai tidak melalui belakang rumah melainkan dibalik gal duwur (sekitar 100 m dari posisi sekarang), yang kemudian dikenal sebagai kali mati. Kali mati karena tidak ada lagi air yang mengalir kecuali jika terjadi banjir. Kali mati sekarang sudah hidup kembali berkat keserakahan manusia (lain kali akan saya ceritakan). Dan tempat aliran sungai yang sekarang, dulunya kebun milik keluarga saya, sehingga bapak saya sering bilang kalau kali di kedung buthul adalah miliknya. 

Suatu saat ada banjir besar dan arus sungai berpindah ke lokasi sekarang. Dari yang saya amati bagian sungai ini malah bagian yang paling setabil, ruas-ruas sungai di atas maupun di bawahnya telah banyak bergeser dari posisi yang dulu. Mungkin karena struktur tanah di sini tanah wadas yang keras dan dilindungi dengan rumpun bambu sehingga arus sungai yang deras tidak mampu menggerus tanah disekitarnya.

Di sebelah atas kedung buthul bermuara sungai kecil kalau tidak salah namanya kali apus. Sebenarnya sumber airnya juga dari sungai Bogowonto yang dialirkan ke sungai irigasi “saluran Boro” melalui bendungan boro. saluran air ini telah dibangun saat penjajahan belanda, dengan arsitek seorang pribumi. kali apus adalah salah satu saluran pengendali banjir dari sungai irigasi tersebut. Di kali apus dulu banyak pohon kenci (jenis sayuran) hidup menjalar di kiri kanannnya. Kali ini sekarang sudah rusak oleh para penambang batu.

Dari jendela belakang rumah tampak air Bogowonto yang tenang, bahkan gemuruh air saat banjir sangat jelas terdengar. Tepat disamping kiri ada jalan menurun ke sungai yang disebut “lurung kebo”. Saat masih banyak orang memelihara kerbau, jalan itu sering untuk lewat kerbau (kebo) menuju sungai. 

Setiap pagi dan sore terutama saat musim kemarau sungai di belakan rumah ramai orang mandi dan mencuci, sampai sekarangpun masih ada beberapa orang yang mandi dan mencuci di sungai. Kalau sekarang kedung buthul ramai jadi tempat pemancingan umum gratis. Sebuah kearifan lokal, dengan semakin berkurangnya biota air warga dan pemerintah membuat kesepakatan di kedung buthul hanya boleh menangkap ikan dengan memancing.

Saat saya kecil banyak sekali ikan di sungai. Jika bermain di tepi sungai akan nampak ratusan ikan berenang kian kemari. Diantara batu-batu kepiting dan udang juga banyak. Mudah sekali mencari udang, jika ada didekat batu ada gelembung udara, itu artinya ada udang di baliknya. Udang di balik batu, geser batunya dan tangkap udangnya. Atau jika ada potongan bambu atau kaleng bekas di dalam air, angkat dengan hati-hati, hampir selalu ada udang di dalamnya. Ada lagi cara menangkap udang yang lain, gunakan terasi bakar, taruh di dalam besek (korak dari anyaman bambu), tenggelamkan beberapa jam di tepi sungai yang dangkal. Tinggal angkat di dalamnya telah ada puluhan udang (udang kok makan udang (terasi udang)?

Ada lagi ikan lempuk, entah nama nasionalnya apalagi nama ilmiahnya. Bentuk ikannya tak jauh beda dengan ikan mujaher ataupun ikan emas, hanya badannya lebih bulat/gilik, tidak banyak mengandung duri seperti kebanyakan ikan penghuni sungai lainnya. Ikan ini juga bersarang di kedung ini, tepatnya pas belokan sungai. Mungkin ikan ini sudah punah atau terancam punah. Bapak sering mencarikan ikan ini spesial buatku yang masih kecil, biyar tidak menelan duri.

Di lokasi istana ikan lempuk dulu ada delta kecil yang ditengahnya ada mata air. Jika bapak mencari ikan di siang hari saya sering ditinggal di delta itu. Wong gak berani masuk ke air yang dalamnya lebih dari selutut, jadinya ditinggal lamapun saya masih utuh di situ bermain air jernih dan batu-batu, atau sibuk menangkap ikan – ikan kecil yang terperangkap di mata air yang saya bendung.

Ada juga bulus, kura-kura air. Biasanya ditangkap dengan cara dipancing dengan umpan bancet (jenis katak denganbadan gepeng). Sebelum memancing harus dipastikan dulu daerah tersebut tempat bulus berkeliaran. Biasanya terlihat bekas tapak bulus yang mirip dengan tapak kerbau. Daging bulus, daging yang sangat unik. Seratnya melintang berlapis-lapis, setelah dimasak satu jam lebih daging bulus masih bisa bergerak-gerak, telur yang masih di dalam tubuh bulus meskipun direbus lama tetap tidak bisa mengeras. Tapi rasa daging maupun telurnya enak tenan….

Ikan pelus, nila, tawes, lele lokal, kathing, sili dan banyak jenis ikan lain hidup di sini. Ikan kathing, kata orang ini ikan endemik Purworejo. Bentuknya hampir menyerupai ikan lele, lengkap dengan kumis dan pathilnya, soal rasa jauh lebih nikmat. Ikan dari laut pun kadang ada yang bisa tertangkap di sungai Bogowonto. Entah ikannya kesasar atau memang ada migrasi ikan. Seperti halnya ikan salmon.

Walau tak berani menapak di kedalaman air bukan berarti saya tak pernah ada di tengah kedung. Bapak sering mengajak bermain-main di tengah kedung. Kalau dengan bapak saya berani, mungkin karena sebuah kepercayaan. Favoritku naik perahu gedebok pisang, pohon pisang di potong dengan panjang sekitar dua meter, kemudian 2-3 batang disatukan dengan ditusuk batang bambu. Perahu debok dihanyutkan dengan aku didalamnya, sangat menyenangkan. Ada lagi, permainan jadi anak katak, bapak berenang dan saya naik di atas beliau. Kusebut anak katak karena saya sering melihat katak kecil naik di punggung katak besar yang sedang berenang.

Selain main perang air, perahu gedebok, anak-anak di sungai juga biasa menciptakan simfoni yang indah. Memukul-mukul air dengan tangan atau mengadu batu dengan batu di dalam air akan memunculkan berbagai macam bunyi tetabuhan.
Ada lagi permainan yang tak berani kucoba, “ngungkal”, kalau orang sekarang bilang arum jeram. Karena sungai Bogowonto memiliki arus bawah, dari permukaan tampak tenang tapi arus di dalam sangat kuat, permainan ini tidak bisa dilakukan sepanjang waktu. Biasanya saat musim penghujan, arus sungai menjadi deras sehingga dapat untuk ngungkal. Anak desa tidak punya perahu karet, sebagai pengganti perahu digunakan ban dalam mobil. Ban yang telah dipompa akan dinaiki beramai-ramai, setiap anak harus menjaga keseimbangan perahu ban ini agar bisa melaju dan tidak oleng saat melewati arus sungai yang deras. Bukan berarti anak-anak akan marah jika ada salah satu anak tidak bisa mempertahankan keseimbangan dan perahu terbalik. Justru sebaliknya jika perahu terbalik dan mereka masuk ke sungai, semua akan tertawa gembira. Permainan yang cukup berbahaya, apa jadinya jika kepala membentur batu atau ada yang hanyut? Anak-anak hanya mengenal bahagia. Sayapun bahagia hanya menyaksikan mereka bermain, mengejar mereka dari tepian sungai dan ikut tertawa saat mereka terjatuh.

Daerah perbatasan kedung buthul dan krapyak merupakan area sungai yang tidak tertalu dalam tetapi berlumpur. Karena banyaknya lumpur di pinggir sungai kangkung liar tumbuh dengan subur. Siapapun yang mau tinggal petik, bebas tak ada yang memiliki. Kemudian ada sungai kecil bernuara di sana, “kali Piji” mata airnya dari desa piji. Desa tetangga, wetan kali (timur sungai) yang sebagian wilayahnya berupa pegunungan terjal di pegunungan Menoreh. Saya suka bermain di muara kali piji, airnya jernih dan dingin. Banyak batu-batu unik di sini, banyak sekali batu-batu transparan mungkin batu marmer atau akik, saya hanya tahu batu-batu itu indah dan sering mengambil untuk di bawa pulang, kadang ada batu dengan bentuk-bentuk tertentu. Satu lagi banyak pecahan keramik/porselin, waktu kecil saya hanya berpikir orang Piji sembarangan membuang pecahan piring ke sungai. Setelah saya benyak membaca cerita tentang kehidupan disekitar Bogowonto di masa lalu saya baru berpikir mungkin pecahan-pecahan piring yang dulu banyak betebaran dari sungai piji hingga di krapyak adalah pecahan keramik dari jaman dahulu yang punya nilai sejarah. Melihat dari bagian tepi yang telah halus karena gesekan air tidak mungkin terbentuk hanya dalam waktu beberapa tahun, sedangkan jarak sumber air dengan lokasi terdapatnya pecahan-pecahan tersebut tidak lebih dari 10 km dan arusnya deras jadi dalam waktu beberapa bulan tentu telah tiba di tempat tersebut. Saya jadi menyesal telah membuang semua batu-batu dan pecahan - pecahan piring yang dulu saya kumpulkan.
Di dekat pertemuan kali piji hingga krapyak sungainya dangkal dan berbatu-batu. 

Banyak ikan-ikan kecil seperti ikan teri yang disebut sisik melik, kalau terkena cahaya sisik ikan ini akan memantulkan cahaya tersebut sehingga seperti bercahaya. Ada juga ikan sreni, ikan kecil seukuran jari, sangat enak dibuat rempeyek atau hanya di goreng. Sama seperti di kedung buthul disini pun banyak udang dan kepiting.

Kalau habis banjir bagian tepi sungai menjadi berlumpur, dan banyak kerang air tawar berwarna kuning menancap di lumpur biasa disebut “kece” besarnya seukuran uang logam 100 rupiah jaman dulu yang bergambar gunung. Saya senang mengambilnya, masukkan ke air panas cangkangnya akan membuka dan ambil dagingnya buat di masak. Rasanya gak begitu enak, alot dan apek.

Krapyak kalau dilihat seperti lautan batu dengan latar belakang pegunungan menoreh. Kalau siang hari sangat panas, main di krapyak paling enak sore hari hingga menjelang magrib. Akan tampak penggembala kerbau, senang rasanya ikut memandikan kerbau. Kalau sekarang pegang kerbau aja gak berani. Menjelang magrib akan tampak pemandangan menakjubkan, jangan bayangkan matahari terbenam! Tidak tampak sama sekali. Yang ada seperti latar kumandang adzan magrib di TV kambing dan domba pulang ke kandang masing-masing, tak ada penggembala. Saat siang mereka dilepas, dan menjelang magrib pulang tanpa di suruh. Tanpa orang dewasa saya tak akan berani disini hingga gelap. Masa anak manusia kalah dengan kambing, saat senja harus pulang tanpa disuruh.