Minggu, 04 Mei 2014

Blusukan : Repek


Blusuan di kebun, pengalaman yang langka bagi orang kota tapi jadi tempat bermain menyenangkan anak desa. Bukan Cuma bermain tapi juga mencari nafkah, gaya banget hehehe…. Saya sebenarnya dilarang ikut blusukan di kebon tapi apa daya itu lokasi permainan menyenangkan, Badan saya alergi, kalau habis blusukan seluruh badan bisa gata-gatal dan biduran jadi gak bisa menyangkal kalau tidak ikut blusukan.
Blusukan mencari makanan eksotis tanah kelahiranku (nggraga.com), repek (mencari kayu bakar), main bithungan (petak umpet), mencari gedobos (sejenis kacang-kacangan liar untuk di jual), mencari minjo atau hanya sekedar jalan-jalan.
Mencari kayu bakar atau disebut repek, sebenarnya tujuan utamanya bukan untuk mendapatkan kayu bakar tapi hanya untuk bersenang-senang. Rasanya bangga kalau mendapat banyak kayu bakar, padahal di rumahku kayu bakar sisa-sisa sampai jika ada saudara atau tetangga hajatan suka minta kayu bakar dari rumahku. Maklum bapakku tukang kayu jadi kayu sisa membuat aneka barang dari kayu melimpah.
Kayu bakar faforit pertama adalah “carang”, tangkai daun bambu. Di dessaya masih banyak kebun bambu yang dibiarkan tumbuh alami. Tangkai-tangkai daun bambu yang sidah kering atau disebut carang betebaran dibawah rumpun bambu, apalagi kalau bambunya habis di panen, sangat melimpah. Wujud carang persis seperti bambu hanya ukurannya kecil dan termasuk kayu yang mudah terbakar. Kalau tidak beruntung saat mengambil carang bisa terkena ‘lugut’, rambut-rambut halus dari pohon bambu yang rasanya sangat gatal. Walau gatal jangan dicuci dengan air karena akan semakin gatal, cukup gosokkan bagian yang gatal pada rambut. Ajaib rasa gatal akan hilang.
Jika musim kemarau duduk-duduk di bawah rumpun bambu sangat menyenangkan, ‘silir’ angin berhembus segar. Di bawah rimbun bambu seperti berkarpet hijau tebal nan lembut, penuh lumut spagnum hehe… ada lagi yang menyebalkan selain lugut yang gatel, yaitu ksayas. Ksayas atau tempat buang air besar dulu biasa dibuat di tengah kebun bambu. Dulu hanya sebagian kecil warga yang punya WC di rumah, bayangan orang pasti jorok dan bau. Bau kotoran manusia? Kalau Ternyata tidak!
Warga Indonesia tempo dulu mempunyai tradisi sendiri untuk buang air besar. Untuk daerah dengan air melimpah biasa membuat ksayas di atas kolam, ksayas plung lap, kotoran keluar masuk ke kolam (bunyinya, plung) terus dimakan ikan (lap : menghilang). Mungkin ini paling ramah lingkungan, tidak menimbulkan bau, merusak pemandangan dan bermanfaat hehehe…
Kembali ke ksayas di rimbunnya bambu. Ksayas ini dibuat dengan membuat lubang dan diberi bancian/tempat berpijak dari potongan bambu serta tepinya diberi pagar dengan anyaman bambu atau tanaman pagar. Orang dahulu memang cerdas-cerdas mereka bisa memilih membuat ksayas di antara pohon bambu sehingga tidak menimbulkan bau tidak sedap. Saya baru tahu setelah kuliah kalau ternyata sifat dari pohon bambu menyamarkan aroma. Kotoran manusia yang menumpuk akan terdegradasi dengan sendirinya. Aneka biji-bijian yang dimakan ternyata tidak hancur oleh pencernaan manusia dan akan tumbuh subur di sekitar ksayas jika musim hujan tiba. Mengambil bibit cabe, tomat, dan terong dari sekitar ksayas juga bagian dari blusukan di rumpun bambu. Ukuran tanaman di sini lebuh besar, maklum pupuk organiknya sangat melimpah hehehe…
Pesona rumpun bambu yang lain adalah aneka temu-temuan/jahe-jahean tumbuh subur diantara rumpun bambu. Dari temu ireng, temu giri, temu kunci dan temu-temuan lain yang bahkan belum saya temukan dalam daftar klasifikasi tumbuhan. Entah belum ada atau saya tidak melihat. Jadi kepikiran kenapa saya dulu gak penelitian “keragaman zingiberaceae di sekitar kebun bambu” saja ya? Temu-temuan ini laku dijual sebagai bahan obat (penghasilan tambahan tentunya), untuk temu kunci biasa untuk bumbu sayur bening. Sebuah kearifan lokal para blusuker, kami hanya mengambil rimpang yang telah besar dan membuang rimpang kecil sehingga rimpang yang kecil akan tumbuh kembali dan tidak mengalami kepunahan walaupun banyak yang mengambil tanpa berpikir (apalagi bertindak) untuk menanam.

Sasaran repek selanjutnya adalah blarak dan blungkeng. Blarak adalah sebutan untuk daun kelapa kering dan blungkeng sebutan untuk tangkai daun kelapanya. Sasaran lain adalah mancung atau bungkus bunga kelapa, cumplung atau buah kelapa muda yang jatuh biasanya kerena dimakan tupai. Soal perbendaharaan kata orang jawa terlalu kaya, dalam satu pohon kelapa ada banyak sekali sebutannya. Bonus dari repek bagian pohon kelapa adalah kelapa jatuh (jika beruntung), bisa lagi dijual sebagai tambahan penghasilan. Sasaran repek yang lain tidak terlalu menarik, mengambil aneka kayu dan ranting dari pohon apapun yang ditemui. Tentunya yang sudah mengering atau memisah dari pohon induk.

Baca juga
dawet ireng
pasar jenar pusat kuliner tradisional
tanah kelahiran 1 cengkawakrejo
brug wesi desa cengkawakrejo
tanah kelahiran 2 bogowonto
nggragase bocah ndeso 

2 komentar:

  1. Repek.. buatku adalah pengalaman manis. Itu kukerjakan bukan utk senang senang atau gaya gayaan. Tapi sdh menjadi tugasku membantu simbahku yg penjual macam macam gorengan, bikin tempe, bikin tape, bikin minyak kelapa, bikin pati telo dll... jd butuh kayu bakar banyak tiap hari. Tapi juga kadang aku repek utk cari duit krn dijual ke orang yg mau bakar bata.. lumayan utk beli buku pelajaran masa itu

    BalasHapus
  2. Gedobos jadi eling jaman cilikku sd di dukuh dungus grabag kutoarjo cari di kuburan rame2 dijual 1 muk ukuran gelas kecil dihsrgai 200 rupiah wis seneng bgt buat jajan.
    Kokllo semono thn 88 jajanan isih 25 perak wkwkwk jaman susah tapi byk kenangan

    BalasHapus