Minggu, 13 April 2014

Brug Wesi Desa Cengkawakrejo

Warga purworejo terutama yang tinggal di daerah Purwodadi, Ngombol, Bagelen dan Banyuurip tentu tidak asing dengan nama ini. Ya sebuah jembatan kecil (orang jawa sebut brug/buh) yg berada di jalur selatan pulau jawa, dari arah Purworejo setelah kantor DPU dan sebelum SMA 3 Purworejo. Tepatnya di desa Cengkawakrejo, kecamatan banyuurip. Jembatan ini melintasi sungai buatan untuk saluran irigasi.

Banyak jembatan yang diberi nama brug wesi, rata-rata jembatan yang bernama brug wesi memiliki struktur jembatan terbuat dri besi, sedangkan brug wesi di Jalan Jogja-Purworejo ini berbeda . Sepintas brug wesi tidak berbeda dari brug - brug yang lain. Jembatan ini tidak terbuat dari besi melainkan terbuat dari beton dengan aspal diatasnya. Nama brug wesi banyak membuat orang salah dalam mencarinya dan akhirnya nyasar ke brug-brug wesi yang lain karena wesi (bahasa jawa) berarti besi sehingga orang mencari jembatan yang terbuat dari besi. Nama biasanya memang mencerminkan sosok empunya. Orang - orang yang telah mengetahui tempat ini tanpa tau sejarahnya pun sering bertanya-tanya kenapa disebut brug wesi padahal setruktur jembatan nyat-nyata tidak terbuat dari besi (mungkin hanya kerangkanya saja yang terbuat dari besi hehehehe)

Konon jembatan ini dahulu kala memang terbuat dari besi. Pada masa penjajahan Belanda kebanyakan jembatan masih terbuat dari kayu, berlainan dengan jembatan yang terdapat di desa Cengkawakrejo yang sudah terbuat dari besi. Sehingga jembatan ini terkenal dengan sebutan "Brug Wesi". Ketika pasukan Jepang masuk ke pulau jawa dan merampas harta dan hasil bumi warga jawa, pemuda Cengkawakrejo dan sekitarnya sepakat menghancurkan brug wesi agar jalan tersebut tidak bisa dilalui tentara Jepang sehingga bisa menghambat tentara jepang dalam menguasai Indonesia. Setelah jembatan hancur otomatis akses jalan Purworejo-Jogjakarta terputus, dan tamat juga riwayat brug wesi. Setelah indonesia merdeka jembatan tersebut dibangun kembali dengan bangunan beton. Meskipun tak ada lagi jembatan yang terbuat dari besi jembatan ini tetap dikenal dengan sebutan brug wesi.

Banyak cerita mistis disekitar brug wesi. daerah ini rawan kecelakaan. menurut cerita penjaga SD Onggosaran (sekarang SD nya telah digabung dengan SD Cengkawakrejo) setiap akan ada kecelakaan pada malam harinya terdengar suara tangisan menyayat. jika beliau telah mendengar itu hari berikutnya akan melarang anak-anak melewati jalan raya dan tak lama kemudian pasti ada kecelakaan dengan korban meninggal atau minimal cacat. banyak juga orang yang nyemplung ke kali saat melewati jalan di selatan buh wesi. kata mereka tidak tampak kalau ada kali di situ yang mampak adalah jalan desa yang lebar dan halus di sedelah kiri sehingga mereke memilih mengambil jalan di kiri dan tau-tau telah masuk ke dalam sungai. kalau orang yang telah paham biasanya setiap ada kejanggalan akan memilih berjalan ditengah-tengah jalan. selain itu kadang juga ada yang menyaksikan ada ular besar katanya sebesar pohon kelapa melintasi jalan tersebut dan tiba-tiba lenyap.

Tanah Kelahiran I, Cengkawakrejo

Purworejo, punya sejarah panjang bisa ditelusuri dari peninggalan megalitikum, jaman kerajaan Jawa, jaman kolonial Belanda hingga masa sekarang. Nama Purworejo sendiri baru muncul jauh setelah wilayah ini ramai. Dahulu dikenal dengan daerah Bagelen (saat ini nama Bagelen hanya untuk nama sebuah kecamatan) dengan sungai Bogowonto yg melegenda, bahkan konon saat jaman kejayaan agama Budha di jawa, sungai Bkemn dengan sungai Gangga di India. Nama Bogowonto diyakini berasar dari kata begawan karena dulu di sekitar sungai ini banyak ditemui Begawan (pendeta Budha) yang bertapa.
Saat ini saya tidak akan bercerita tentang Purworejo maupun bagelen, melainkan hanya akan bercerita tentang desa kelahiranku “Cengkawakrejo”. Sejak 2 tahun lalu beberapa kali saya coba mencari di mbah google tentang cengkawakrejo tapi tak pernah mendapatkan cerita masalalu yang berarti. Sangat berbeda dengan desa-desa disekitarnya seperti Semawung, Piji, Soko, Bragolan, Candisari, Plandi dan lain-lain yang memiliki cerita dari jaman kerajaan Mataram maupun jaman penjajahan.
Secara administratif desa Cengkawakrejo termasuk dalam kecamatan Banyuurip. Tapi jangan tanya tentang daerah Banyuurip karena saya tidak banyak tahu, memang letaknya cukup jauh dari pusat kecamatan. Mungkin sebenarnya hanya 3 km jika melalui perempatan niten, tapi jalannya sangat sepi. Sepanjang jalan hanya mbulak (hamparan sawah), sehingga lebih sering memilih jalan memutar melalui Boro yang tentu jaraknya menjadi berlipat-lipat (lebih dari 4x lipat). Dari pada ke kota kecamatan jauh lebih mudah ke kota kabupaten.
Posisinya memang di kecamatan Banyuurip paling ujung, sebelah selatan berbatasan dengan kecamatan purwodadi, sebelah timur berbatasan dengan kecamatan Bagelen, dan sebelah timur laut dengan kecamatan Purworejo. Untuk menuju desa ini dari pusat kota Purworejo terus ke selatan, tepatnya di jalan raya Purworejo – Yogjakarta atau jalan raya Purworejo – Purwodadi, karena posisinya yang di jalan Purworejo – Purwodadi banyak yang menganggap Cengkawakrejo masuk wilayah Kecamatan Purwodadi.
Dari dulu hingga sekarang desaku masih saja sepi. Mungkin jumlah penduduknya malah berkurang. Cengkawakrejo mempunyai dua sekolah dasar, SDN Cengkawakrejo atau dikenal dengan SD impres dan SDN Onggosaran. Karena jumlah siswa yang semakin menurun kedua SD kemudian digabung, SDN Onggosaran dihilangkan, siswanya dipindah ke SD N Cengkawakrejo. Lokasi bekas SDN Onggosaran sekarang dijadikan kantor balai desa.
Kantor balai desa yang lama ternyata berdiri di atas tanah warga di dukuh Bowoan, sehingga sekarang menjadi rumah warga. Konon di tempat ini dulu berdiri pasar desa “Sarkawak” orang – orang tua (usianya lebih dari 80 tahun) masih sering menyebut daerah ini dengan sebutan Sarkawak. Rumah orang tuaku berada sekitar 80 meter dari kantor balai desa lama.
Jalan masuk desa ada 3 dari jalan raya Purworejo - Yogyakarta:
1.       Niten, merupakan perempatan. Ke timur masuk desa Cengkawakrejo tetapi kemudian jalan buntu. Ke barat melalui mbulak akan tiba di pusat kecamatan Banyuurip. Ke selatan menuju jogja dan ke utara menuju Purworejo.
2.       Ki Onggosaran berada di dukuh Onggosaran, menilik dari namanya sepertinya ini adalah nama orang, tapi entah siapa saya tidak pernah mendengar kisahnya. Mungkin beliau leluhur warga di sini. Jalan ini pada akhirnya akan bergabung dengan jalan desa yang ketiga.
3.       Brug/Buh Wesi. Brug atau buh adalah sebutan untuk jembatan kecil, dan wesi berarti besi. Jalan ini memang berada tepat di selatan brug wesi. Jangan harap akan menemukan jembatan yang terbuat dari besi, jembatan ini sama dengan jembatan-jembatan lain yang tersebar di pulau Jawa, kenapa namanya brug wesi? Lihat pada cerita brug wesi. Di sebelah utara brug wesi adalah balai desa/bekas SD Onggosaran. Jalan desa ini akhirnya bercabang, ke kanan/selatan menuju desa lain (Sutomenggalan, Wonoganggu) dan ke kiri/timur jalan berakhir di sungai Bogowonto.
Desaku berada ditepi sungai Bogowonto. Desa – desa disepanjang bogowonto telah tercatat dalam sejarah kerajaan-kerajaan di jawa (baik mataram kuno maupun mataram islam) dan tidak satupun literatur yang aku temuni menyebutkan nama desaku. Desaku tidak dikenal. Menurutku bukan karena desaku kala itu belum berdiri, mungkin karena dianggap tidak terlalu penting atau mungkin menjadi satu kesatuan dengan desa lain.
Yang membuatku berpikir desaku mempunyai sejarah panjang sama seperti desa-desa disepanjang Bogowonto yang lain adalah
1.       adanaya peninggalan megalitikum, warga menyebutnya “watu lumpang”, batu berbentuk lumpang, alat untuk menumbuk padi. Konon pernah ada yang mengambil batu tersebut tetapi kebudian batu itu kembali ke tempat semula.
2.       Ada makam yang dikeramatkan, terkenal dengan makam rujak beling. Dulu saya pernah mendengar cerita tentang makam rujak beling yang banyak diziarahi orang dari luar desa tetapi saya sudah lupa seperti apa ceritanya.
3.       Ada sumur tua yang disebut mbeji yang airnya tak pernah kering dan dikeramatkan. Tentu ada cerita dibalik itu.
4.       Ada komplek makam tua. Mungkin banyak warga cengkawakrejo yang tidak tahu. Posisinya di dukuh dongbotol. Sekitar setengah kilometer dari komplek makam dong botol. Di dekat kompleks makam tersebut ada bangunan peninggalan jepang, “sumur Pompo” menurut cerita dulu ada pompa air yang mengambil air dari sungai Bogowonto untuk dialirkan ke warga. Kalau kita kesana akan nampak dua makam biasa dengan kijing dari semen tapi jika jeli memperhatikan daerah sekitarnya yang banyak ditumbuhi pohon jati akan nampak nisan-nisan tua dari batu cadas yang telah rusak. Menurut simbah yang asli dongbotol komplek makam tua itu sudah ada sejak beliau kecil dan cukup luas, sebagian telah tak terlihat bekasnya dan telah menjadi tegalan warga, bahkan hingga ke area tegalan yang disebut gal duwur yang ada di sebrang sungai.
Saya paling sering melalui kompleks makam tua tetapi tak pernah berani berhenti di areal tersebut. Ada rasa yang aneh, orang jawa bilang sinup. Saya tak berani bermain atau sekedar beristirahan di area makam tua bahkan sebelum saya tahu disitu bertebaran batu-batu nisan tua karena derah itu dulu banyak ditumbuhi semak belukar. Padahal saya tidak termasuk pengecut. Dari kecil saya terbiasa dibawa bapak mencari ikan di sungai. Pada malam hari sering ditinggal sendirian di pinggir bogowonto di bawah area makam dongbotol tanpa rasa takut sedikitpun padahal banyak yang cerita daerah itu juga angker.
Di tahun 1990an banyak kelompok kesenian tradisional di Cengkawakrejo, seingat saya ada dolalak putra dan putri, jaran kepang dan ketoprak. Saya masih ingat setiap malam minggu pasti ada latihan dolalak putri. Jika bulan agustus, selama sebulan penuh selalu banyak kegiatan. Siang hingga sore rame kegiatan untuk anak-anak, dari pentas seni anak TK, SD sampai masyarakat umum dan aneka lomba untuk anak-anak, ibu-ibu PKK maupun karang taruna. Malam hari akan ada pertunjukan kesenian ketoprak, dolalak, jaran kepang yang dilakukan bergantian.
Akhir tahun 90an kondisi keamanan sangat memprihatinkan, banyak pemuda yang mabuk-mabukan dan setiap ada pertunjukan kesenian selalu diakhiri dengan perkelahian sehingga pertunjukan malam dilarang. Kerusuhan menjadi lebih parah karena banyak pemuda yang berteman dengan anak-anak pesisis pantai selatan (sejak dulu preman pantai selatan sudah terkenal kejam bahkan jika di daerah jalan raya dendles ada perampokan ataupun pembunuhan di malam hari polisi baru berani datang setelah hari terang). Sedangkan warga desa yang umumnya petani hanya punya waktu mengembangkan kesenian ataupun sekedar menikmati pertunjukan di malam hari. Akhirnya satu persatu kelompok kesenian membubarkan diri.

Bahkan karena ulah warga, pabrik kayu yang ada di dekat jalan ki onggosaran menjadi bangkrut dan tutup. Bagaimana pabrik tidak rugi jika banyak warga yang meminta kayu ke pabrik bahkan ada warga yang terang-terangan mengambil alat-alat pabrik. Dengan ditutupnya pabrik banyak warga menjadi pengangguran dan merantau ke daerah lain. Karena jumlah pemuda banyak berkurang keamanan desa berangsur angsur pulih kembali. 

Kamis, 10 April 2014

Pasar Jenar, Pusat Kuliner tradisional Purworejo

Pasar Jenar, terletak di jalan raya Purwodadi - Purworejo  tepatnya  di desa Jenar, strategis karena kalau naik angkutan umum bisa langsung turun di depannya. Seperrti  umumnya  pasar-pasar tredisional, pasar Jenar mempunyai hari-hari khusus ‘hari pasar’nya  yaitu Minggu, Selasa dan Jum’at. Terus hari biasa gimana? Hari-hari biasa selain hari pasarnya itu disebut ’warungan’ artinya tetap ada orang dagang tapi tak se‘pepak’ atau selengkap hari pasar yang 3 hari itu. Apa yang dijual? Semua ada, dari jajanan tradisional yang langka nan ndesooo, sayuran, buah, gerabah, gula jawa,  sampai baju,  alat dan bibit pertanian, dan hewan ternak. Jika menginginkan produk lautan anda bisa mendapatkan ikan, cumi, udang, kepiting (tergantung musim) dalam kondisi segar hasil tangkapan nelayan pantai selatan.
Pasar Jenar telah mengalami beberapa kali renovasi, dulu sebelum direnovasi lantai bangau-bangau (tempat berjualan yang dibuat agak tinggi) masih berlapis nekel tetapi sekarang sudah berkeramik. Jalan di dalam pasar dulu saat aku kecil hanya berupa batu-batu yang halus disusun landai dan masih tampak tanah-tanahnya sehingga saat musim hujan di dalam pasar pasti becek, tetapi sekarang telah diratakan dengan semen sehingga tidak sebecek dulu. Saat aku kecil di belakang pasar terdapat tanah yang agak lapang, sering kali digunakan untuk pertunjukan layar tancap.
Di wilayah Purwodadi - Bagelen sebenarnya ada 3 pasar tradisional yang cukup besar yaitu: pasar Jenar dan pasar Purwodadi (wilayah Kec. Purwodadi) dan pasar Krendetan (Kec. Bagelen) . Tetapi di antara ketiganya yang paling rame dan masyhur adalah pasar Jenar untuk wilayah Purworejo.   Mengapa? Mungkin karena strategis, terjangkau dan murah. Tidak jaug dari stasiun kereta api Jenar,dan mudah di jangkau dari pusat kota Purworejo. Banyak juga pedagang dan pembeli berasal dari luar kecamatan seperti dari kota Purworejo, Kutoarjo, Banyuurip. Ramee gitu. Bahkan ada pedagang dari kulon progo yang berdagang di pasar jenar.
Yang menjadi incaran utamaku jika ke pasar Jenar adalah jajanan pasar. Makanan khasnya sego peneg atau sekul peneg khas Ngandul. Saya juga gak tau, kenapa untuk wilayah Jenar- Bagelen, makanan ini sangat dinikmati dan sering diomongin oleh perantau . Padahal apa si sego peneg itu? Nasi, sayur nangka muda bumbu lodeh biasanya dibungkus daun jati, tempe-ayam, telur   bumbu opor putih yang dapat kita buat sendiri, tetapi akan jadi beda: lebih nyuus kalau itu dimasak ala Ngandul; nama padukuhan di desa Jenar Wetan. Dan  konon  resepnya hanya orang Ngandul turun temurun yang tahu! Yang akrap dengan nasi peneg juga orang-orang purworejo sebelah kidul (selatan), kalau orang lor (utara) banyak yang tidak tau apa itu nasi penek.
Ada juga cerita tentang terjadinya peneg Ngandul ini, konon katanya modifikasi dari gudeg Jogja yang coklat hitam rasanya manis menjadi putih-merah dengan rasa  pedes dan gurih. Memang tak bisa disangkal  karena Bagelen (Purworejo) dahulu adalah wilayah Kraton Mataram, bahkan nama Bagelen  lebih top dari nama Purworejo, karena dulu nama sebuah kabupaten di  wilayah Mataram.
Lanting jenar, Purworejo memang terkenal dengan lanting, ada banyak farian lanting di kota kelahiranku ini. Cemilan berbahan dasar ketela, sebagian besar dari pati ketela atau parutan ketela yang dibentuk cincin ataupun angka delapan yang digoreng kering dengan rasa renyah. Berwarna putih atau diberi pewarna merah, dan sekarang telah muncul dengan berbagai rasa. Lanting jenar tetap punya tempat tersendiri di lidahku, terbuatnya bukan dari pati tela murni tapi justru trempos (ampas sisa pembuatan pati) sehingga rasanya kecoklatan dan sangat keras terutama jika masih berbentuk lingkaran penuh, tapi jika lingkaran telah pecah rasanya sangat renyah. Sifat aneh ini yang dulu sering kugunakan ngerjain teman sewaktu kuliah. Untuk yang belum pernah makan jika aku beri lanting pasti milih yang masih utuh bahkan gak terima jika aku beri remuaan (yang telah pecah) dan akhirnya protes dengan kerasnya lanting yang aku katakan enak. Ada dua jenis lanting Jenar satu ukurannya kecil dan dijual dengan diikat tutus (tali dari serat bambu), sebenarnya bukan diikat tapi disendati (disatukan dengan memasukkan tali ke dalam lubang lanting) aku gak tahu apa bahasa Indonesianya. Yang satunya lagi berukuran besar dan tidak membentuk bulatan tetapi lonjong, biasa dijual kiloan dengan dibungkus plastik.
Clorot, jajanan pasar khas pesisir Purworejo berupa jenang (seperti jeli) dari tepung, kalau jaman dulu biasa pake pati ganyong (Canna sp.) tapi pati ganyong semakin langka sehingga sekarang banyak yang menggunakan tepung terigu, rasanya manis gurih karena mengandung santan dan diberi gula merah. Yang khas dari clorot adalah bungkusnya, terbuat dari janur (daun kelapa muda) yang dibentuk lilitan seperti trompet. Untuk menikmati clorot tidak perlu menbuka bungkusnya, cukup tusuk bungkus dari bagian bawah dan bungkus janur akan melipat dengan sendirinya.
Kue lompong, kue ini sudah jarang ditemukan di pasar Jenar tatapi masih banyak dijual di toko oleh-oleh sepanjang Purworejo, kuenya berwarna hitam dengan bungkus klaras (daun pisang kering), warna hitam pada makanan ini berasal dari pewarna alami daun lompong (batang tanaman sejenis talas) dan juga sari dari abu uman (tangkai padi yang dibakar)
Tempe bengok bacem, sejenis tempe dengan bahan baku biji bengok yang dimasak sengan cara di bacem atau direbus dengan bumbu-bumbu dan gula jawa. Pohon bengok termasuk pohon kacang-kacangan yang merambat dengan daun seperti daun bengkoang. Biji bengok muda berambut halus dan sangat gatal yang biasa sisebut krawe, cara pembuatan tempenya tidak jauh beda dengan pembuatan tempe kedele.
Growol, rasa makanan ini sebenarnya enak tetapi aromanya sangat tidak saya sukai. Jenis makanan fermentasi yang konon sangat baik untuk kesehatan saluran pencernaan. Dibuat dari ketela kupas yang direndam dalam air hingga berbau busuk dan lunak, ketela yang telah lunak kemudian dihancurkan dengan tangan dan ditiriskan. Setelah itu di cetak membentuk bongkahan besar yang biasa disebut ompak karena bentukknya seperti penyangga tiang pada rumah joglo dan dibungkus daun pisang lalu dikukus hingga matang. Growol biasa dinikmati dengan urap kelapa, makanan ini juga biasa sigunakan sebagai makanan utama bagi orang daerah purworejo yang sedang puasa mutih (puasa tidak makan nasi dan garam, biasanya dilakukan pada bulan suro).
Gathot, juga terbuat dari ketela yang difermentasi rasanya kenyal dan tidak berbau seperti growol. Bedanya ketela di kokrok (diparut besar-besar), cara fermentasinya juga dengan direndam air tetapi tidak sampai hancur dan ditiriskan beberapa hari sehingga warnanya kecoklatan. Pengilahannya juga dengan dikukus.
Dawet ireng, minuman yang sedang naik daun di purworejo ini juga dapat ditemukan dengan mudah di pasar jenar dengan harga yang terjangkau. Jika anda beli di sepanjang jalan utama Purworejo satu porsi berkisar 5.000 hungga 10.000 rupiah, di pasar jenar dawet ireng bisa diperoleh dengan harga Rp 2.000 jauh lebih murah dengan rasa yang mantap.

Selain makanan – makanan diatas sebenarnya masih banyak makanan tradisional yang bisa didapatkan di pasar jenar. Jika anda ingin berburu panganan tradisional Purworejo tidak salah jika mendatangi pasar Jenar, tapi jangan kesiangaan karena pasar ini hanya rame di pagi hari, apalagi jika musim panen padi jajanan pasar banyak diborong untuk bekal ke sawah.