Jumat, 10 Maret 2017

Kisah Jayaprana dan Layonsari (cerita rakyat bali)

Pada jaman dahulu kala, ada sebuah kerajaan kecil di Bali utara yang bernama kerajaan Wanekeling Kalianget. Di kerajaan itu hidup keluarga sederhana terdiri dari suami istri dengan tiga oranga anak, dua anak laki-laki dan satu anak perempuan. Pada suatu masa terjadi wabah penyakit yang merenggut banyak nyawa dan keluarga tersebut hanya tersisa si bungsu yang bernama I nyoman Jayaprana.
Raja merasa berduka atas musibah penyakit tersebut dan memutuskan untuk keliling negri. Saat berada di dusun Jayaprana raja merasa iba melihat Jayaprana yang sedang menangisi kematian kedua orang tua dan saudaranya. Raja menjadi teringan dengan mendiang anaknya yang juga meninggal karena wabah penyakit sehingga raja memutuskan mengangkat Jayaprana sebagai anak.
Jayaprana dibawa ke istana, diperlakukan sebagai pangeran dan tumbuh menjadi pemuda yang pandai bertarung dalam lingkungan istana. Karena ketampananya banyak gadis yang menyukai  Jayaprana. Raja meminta Jayaprana untuk memilih salah satu gadis sebagai pendampingnya. Mula-mula Jayaprana menolak karena belum ingin menjalin hubungan asmara tetapi raja terus mendesak, dan Jayaprana akhirnya menurut.
Pada suatu hari Jayaprana berjalan-jalan di pasar dekat istana dan melihat gadis-gadis berlalu lalang di sana. Jayaprana terpanan pada gadis penjual bunga anak Jero Bandeso dari Banjar Sekar. Nama gadis tersebut Ni Komang Layonsari. Jayaprana terus mengamati gadis tersebut, Layonsari yang merasa diperhatikan berusaha menghindar dengan masuk ke kerumunan orangan.
Setelah kehilangan jejak Layonsari, Jayaprana kembali ke istana dan menemui raja melaporkan bahwa dia telahmenemukan gadis pujaan hati. Raja merasa senang dan membuatkan surat untuk diantar Jayaprana ke Jero Bandeso. Jayaprana segera mengantar dan menyerahkan surat tersebut. Jero Bandeso segera membaca surat yang isinya lamaran untuk Layongsari. Jero Bandeso menyatakan kesediaanya menerima lamaran tersebut, Jayaprana segera kembali ke istana dengan hati berbunga-bunga.
Setiba di istana raja sedang rapat dan Jayaprana menyela rapat untuk menyampaikan kabar genbira tersebut. Raja tak kalah bahagia dan langsung membuat pengumuman kepada yang hadir di rabat bahwa beliau akan membuat upacara perkawinan Jayaprana dengan Layosari pada hari selasa legi wuku kuning. Raja juga memerintahkan kepada segenap  perbekel untuk mulai mendirikan bangunan-bangunan rumah, balai-balai selengkapnya untuk Jayaprana.
Tibalah hari perkawinan, Jayaprana dengan diiringi oleh masyarakat desanya pergi ke rumah Jero Bandeso untuk menjemput Layongsari dengan upacara adat selengkapnya. Di istana, raja sedang duduk di singgasana, dihadapanya ada para pegawai kerajaan dan juga para perbekel. Kemudian tibalah rombongan jayaprana  dengan kedua didalam kereta. Mempelai segera turun dan menyembah raja. Raja terpesona dengan kecantikan Layongsari hingga tidak mampu berkata apa-apa.
Raja yang telah lama kehilangan permaisurinya diam-diam tumbuh benih cinta terhadap Layongsari. Raja yang semula adalah raja bijaksana menjadi gelap mata karena cintanya terhadap Layongsari. Raja diam-diam menyusun strategi untuk membunuh Jayaprana supaya dapat memperistri Layongsari. Raja kemudian memerintahkan patin kerajaan yang bernama Sawung Galih untuk melaksanakan strategi tersebut. Sawung Galih menolak tugas tersebut, tetapi raja mengatakan bahwa dia akan mati karena bersedih jika tidak bisa memperistri Layonsari. Sebagai abdi seti Sawunggalih pun menuruti titah baginda.
Strategi raja untuk membunuh Jayaprana adalah memerintahkan Jayaprana untuk pergi ke teluk trima untuk menyelidiki perahu yang hancur oleh orang Bajo yang menembak binatang diwilayah Pengulon.
Pada hari ketujuh pernikahannya, Jayaprana diminta menghadap raja. Jayaprana segera datang menghadap. Raja menceritakan kalau diwilayah perbatasan ada pemberontakan dan raja memerintahkan Jayaprana memimpin rombongan bersama patih Sawunggalih untuk menyelidiki di perbatasan teluk trima.
Sesampainya di rumah Jayaprana menceritakan perintah raja kepada istrinya. Malam harinya Layonsari bermimpi ada banjir bandang yang menghanyutkan rumah mereka, begitu terbangun dia menceritakan mimpi buruk itu ke suaminya. Dia meminta Jayaprana mengurungkan kepergiannya  karena merasa mimpi tersebut adalah firasat buruk. Tetap jayaprana tidak berani menolak titah raja.
Pagi harinya Jayaprana pergi sesuai titah raja. Sepanjang jalan hatinya tidak tenang, dia merasa ada hal buruk yang akan terjadi padanya.  Sesampainya di hutan teluk trima patih sawunggalih menyerang Jayaprana. Karena ilmu Jayaprana lebih tinggi patih tidak mampu mengalahkan Jayapranan. Jayaprana kebingungan dengan serangan patih sawunggalih dan bertanya kenapa sang patih menyerangnya. Sang patih menyerahkan suran raja kepada jayaprana yang isinya:
Hai engkau Jayaprana.
Manusia tiada Guna.
Berjalan-jalanlah engkau.
Akulah yang memerintahkan membunuhmu.
Dosamu sangat besar.
Kau telah melampaui tingkah raja.
Istrimu sungguh milik orang besar.
Kuambil kujadikan istri raja.
Serahkanlah jiwamu sekarang.
Jangan engkau melawan.
Loyangsari jangan kau kenang.
Kuperistri sampai akhir jaman.
Jayaprana menagis membaca surat tersebut. Lakukanlah titah raja, patih. Hamba siap dicabut nyawanya demi kepentingan raja. Dulu beliau yang merawat dan membesarkan hamba. Jika sekarang beliau menginginkan nyawa hamba maka akan hamba persembahkan. Jayaprana menyerahkan keris saktinya yang bisa digunakan untuk membunuhnya.. beliau berpesan agar keris dan berita kematianya dikabarkan kepada isstrinya , bahwa kematiannya sebagai bukti baktinya pada titah raja.
Dengan keris milik Jayaprana patih Sawunggalih bisa membunuh Jayaprana dengan mudah. Ketika keris dihujamkan dan dicabut darah mengucur dengan deras dan yang tercium bukan bau amis melainkan bau wangi. Alam ikut menangisi kematian Jayaprana, tiba-tiba terjadi gempa bumi, angin topan, hujan bunga dan binatang ikut menangis.
Setelah jasad Jayaprana dikubur rombongan kembali ke istana dengan hati sedih. Ditengah perjalanan muncul harimau putih menyerang rombongan. Banyak anggota rombongan yang tewas termasuk patih Sawunggalih.
Setibanya rombongan yang mengabarkan kematian Jayaprana, raja segera menemui Layonsari untuk menyampaikan kabar duka sekaligus melamar Layonsari untuk menjadi istrinya. Layonsari tidak percaya dengan kabar itu. Raja kemudian menunjukkan keris Jayaprana yang berlumuran darah. Layonsari menangis histeris, memaki raja dan merebut keris Jayaprana kemudian menusukkan keris tersebut ke jantungnya. Layonsari tewas seketika dan dari tubuhnya mengeluarkan aroma wangi yang menyebar ke pelosok negri hingga ke tempat jasad Jayaprana dikuburkan.
Jasad Layonsari kemudian dikuburkan bersebelahan dengan Jayaprana. Jasad sawunggalih juga dimakamkan didekat makam keduanya sebagai lambang kesetiaan terhadap titah raja.
Raja yang melihat Layonsari menikam jantungnya dengan keris menjadi sangat sedih dan gelap hati. Raja mengamuk membunuh semua pengiring dan semua penghuni rumah. Setekah itu raja menikan jantungnya sendiri hingga tewas. Pengikut raja tidak percaya raja bunuh diri dan menganggap rakyat yang telah membunuh raja. Para pengikut setia raja segera keluar istana untuk membalas dendam dengan membunuh rakyat. Rakyat tidak terima dan melakukan perlawanan. Terjadilah perang saudara yang mengakibatkan seluruh rakyat kalianget tewas dalam sehari. Wilayah kalianget menjadi daerah tanpa penghuni dengan mayat bergelimpangan dam bersimbah darah. Seiring berjalanya waktu daerah tersebut akhirnya berubah menjadi hutan belantara hingga kemudian datang orang dari daerah lain untuk menetap dan membuka lahan.

Begitulah manusia yang tidak bisa mengendalikan nafsu bisa membinasakan suatu negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar