Minggu, 13 April 2014

Tanah Kelahiran I, Cengkawakrejo

Purworejo, punya sejarah panjang bisa ditelusuri dari peninggalan megalitikum, jaman kerajaan Jawa, jaman kolonial Belanda hingga masa sekarang. Nama Purworejo sendiri baru muncul jauh setelah wilayah ini ramai. Dahulu dikenal dengan daerah Bagelen (saat ini nama Bagelen hanya untuk nama sebuah kecamatan) dengan sungai Bogowonto yg melegenda, bahkan konon saat jaman kejayaan agama Budha di jawa, sungai Bkemn dengan sungai Gangga di India. Nama Bogowonto diyakini berasar dari kata begawan karena dulu di sekitar sungai ini banyak ditemui Begawan (pendeta Budha) yang bertapa.
Saat ini saya tidak akan bercerita tentang Purworejo maupun bagelen, melainkan hanya akan bercerita tentang desa kelahiranku “Cengkawakrejo”. Sejak 2 tahun lalu beberapa kali saya coba mencari di mbah google tentang cengkawakrejo tapi tak pernah mendapatkan cerita masalalu yang berarti. Sangat berbeda dengan desa-desa disekitarnya seperti Semawung, Piji, Soko, Bragolan, Candisari, Plandi dan lain-lain yang memiliki cerita dari jaman kerajaan Mataram maupun jaman penjajahan.
Secara administratif desa Cengkawakrejo termasuk dalam kecamatan Banyuurip. Tapi jangan tanya tentang daerah Banyuurip karena saya tidak banyak tahu, memang letaknya cukup jauh dari pusat kecamatan. Mungkin sebenarnya hanya 3 km jika melalui perempatan niten, tapi jalannya sangat sepi. Sepanjang jalan hanya mbulak (hamparan sawah), sehingga lebih sering memilih jalan memutar melalui Boro yang tentu jaraknya menjadi berlipat-lipat (lebih dari 4x lipat). Dari pada ke kota kecamatan jauh lebih mudah ke kota kabupaten.
Posisinya memang di kecamatan Banyuurip paling ujung, sebelah selatan berbatasan dengan kecamatan purwodadi, sebelah timur berbatasan dengan kecamatan Bagelen, dan sebelah timur laut dengan kecamatan Purworejo. Untuk menuju desa ini dari pusat kota Purworejo terus ke selatan, tepatnya di jalan raya Purworejo – Yogjakarta atau jalan raya Purworejo – Purwodadi, karena posisinya yang di jalan Purworejo – Purwodadi banyak yang menganggap Cengkawakrejo masuk wilayah Kecamatan Purwodadi.
Dari dulu hingga sekarang desaku masih saja sepi. Mungkin jumlah penduduknya malah berkurang. Cengkawakrejo mempunyai dua sekolah dasar, SDN Cengkawakrejo atau dikenal dengan SD impres dan SDN Onggosaran. Karena jumlah siswa yang semakin menurun kedua SD kemudian digabung, SDN Onggosaran dihilangkan, siswanya dipindah ke SD N Cengkawakrejo. Lokasi bekas SDN Onggosaran sekarang dijadikan kantor balai desa.
Kantor balai desa yang lama ternyata berdiri di atas tanah warga di dukuh Bowoan, sehingga sekarang menjadi rumah warga. Konon di tempat ini dulu berdiri pasar desa “Sarkawak” orang – orang tua (usianya lebih dari 80 tahun) masih sering menyebut daerah ini dengan sebutan Sarkawak. Rumah orang tuaku berada sekitar 80 meter dari kantor balai desa lama.
Jalan masuk desa ada 3 dari jalan raya Purworejo - Yogyakarta:
1.       Niten, merupakan perempatan. Ke timur masuk desa Cengkawakrejo tetapi kemudian jalan buntu. Ke barat melalui mbulak akan tiba di pusat kecamatan Banyuurip. Ke selatan menuju jogja dan ke utara menuju Purworejo.
2.       Ki Onggosaran berada di dukuh Onggosaran, menilik dari namanya sepertinya ini adalah nama orang, tapi entah siapa saya tidak pernah mendengar kisahnya. Mungkin beliau leluhur warga di sini. Jalan ini pada akhirnya akan bergabung dengan jalan desa yang ketiga.
3.       Brug/Buh Wesi. Brug atau buh adalah sebutan untuk jembatan kecil, dan wesi berarti besi. Jalan ini memang berada tepat di selatan brug wesi. Jangan harap akan menemukan jembatan yang terbuat dari besi, jembatan ini sama dengan jembatan-jembatan lain yang tersebar di pulau Jawa, kenapa namanya brug wesi? Lihat pada cerita brug wesi. Di sebelah utara brug wesi adalah balai desa/bekas SD Onggosaran. Jalan desa ini akhirnya bercabang, ke kanan/selatan menuju desa lain (Sutomenggalan, Wonoganggu) dan ke kiri/timur jalan berakhir di sungai Bogowonto.
Desaku berada ditepi sungai Bogowonto. Desa – desa disepanjang bogowonto telah tercatat dalam sejarah kerajaan-kerajaan di jawa (baik mataram kuno maupun mataram islam) dan tidak satupun literatur yang aku temuni menyebutkan nama desaku. Desaku tidak dikenal. Menurutku bukan karena desaku kala itu belum berdiri, mungkin karena dianggap tidak terlalu penting atau mungkin menjadi satu kesatuan dengan desa lain.
Yang membuatku berpikir desaku mempunyai sejarah panjang sama seperti desa-desa disepanjang Bogowonto yang lain adalah
1.       adanaya peninggalan megalitikum, warga menyebutnya “watu lumpang”, batu berbentuk lumpang, alat untuk menumbuk padi. Konon pernah ada yang mengambil batu tersebut tetapi kebudian batu itu kembali ke tempat semula.
2.       Ada makam yang dikeramatkan, terkenal dengan makam rujak beling. Dulu saya pernah mendengar cerita tentang makam rujak beling yang banyak diziarahi orang dari luar desa tetapi saya sudah lupa seperti apa ceritanya.
3.       Ada sumur tua yang disebut mbeji yang airnya tak pernah kering dan dikeramatkan. Tentu ada cerita dibalik itu.
4.       Ada komplek makam tua. Mungkin banyak warga cengkawakrejo yang tidak tahu. Posisinya di dukuh dongbotol. Sekitar setengah kilometer dari komplek makam dong botol. Di dekat kompleks makam tersebut ada bangunan peninggalan jepang, “sumur Pompo” menurut cerita dulu ada pompa air yang mengambil air dari sungai Bogowonto untuk dialirkan ke warga. Kalau kita kesana akan nampak dua makam biasa dengan kijing dari semen tapi jika jeli memperhatikan daerah sekitarnya yang banyak ditumbuhi pohon jati akan nampak nisan-nisan tua dari batu cadas yang telah rusak. Menurut simbah yang asli dongbotol komplek makam tua itu sudah ada sejak beliau kecil dan cukup luas, sebagian telah tak terlihat bekasnya dan telah menjadi tegalan warga, bahkan hingga ke area tegalan yang disebut gal duwur yang ada di sebrang sungai.
Saya paling sering melalui kompleks makam tua tetapi tak pernah berani berhenti di areal tersebut. Ada rasa yang aneh, orang jawa bilang sinup. Saya tak berani bermain atau sekedar beristirahan di area makam tua bahkan sebelum saya tahu disitu bertebaran batu-batu nisan tua karena derah itu dulu banyak ditumbuhi semak belukar. Padahal saya tidak termasuk pengecut. Dari kecil saya terbiasa dibawa bapak mencari ikan di sungai. Pada malam hari sering ditinggal sendirian di pinggir bogowonto di bawah area makam dongbotol tanpa rasa takut sedikitpun padahal banyak yang cerita daerah itu juga angker.
Di tahun 1990an banyak kelompok kesenian tradisional di Cengkawakrejo, seingat saya ada dolalak putra dan putri, jaran kepang dan ketoprak. Saya masih ingat setiap malam minggu pasti ada latihan dolalak putri. Jika bulan agustus, selama sebulan penuh selalu banyak kegiatan. Siang hingga sore rame kegiatan untuk anak-anak, dari pentas seni anak TK, SD sampai masyarakat umum dan aneka lomba untuk anak-anak, ibu-ibu PKK maupun karang taruna. Malam hari akan ada pertunjukan kesenian ketoprak, dolalak, jaran kepang yang dilakukan bergantian.
Akhir tahun 90an kondisi keamanan sangat memprihatinkan, banyak pemuda yang mabuk-mabukan dan setiap ada pertunjukan kesenian selalu diakhiri dengan perkelahian sehingga pertunjukan malam dilarang. Kerusuhan menjadi lebih parah karena banyak pemuda yang berteman dengan anak-anak pesisis pantai selatan (sejak dulu preman pantai selatan sudah terkenal kejam bahkan jika di daerah jalan raya dendles ada perampokan ataupun pembunuhan di malam hari polisi baru berani datang setelah hari terang). Sedangkan warga desa yang umumnya petani hanya punya waktu mengembangkan kesenian ataupun sekedar menikmati pertunjukan di malam hari. Akhirnya satu persatu kelompok kesenian membubarkan diri.

Bahkan karena ulah warga, pabrik kayu yang ada di dekat jalan ki onggosaran menjadi bangkrut dan tutup. Bagaimana pabrik tidak rugi jika banyak warga yang meminta kayu ke pabrik bahkan ada warga yang terang-terangan mengambil alat-alat pabrik. Dengan ditutupnya pabrik banyak warga menjadi pengangguran dan merantau ke daerah lain. Karena jumlah pemuda banyak berkurang keamanan desa berangsur angsur pulih kembali. 

18 komentar:

  1. Sekitar tahun 80-an saya rajin mendengarkan ketoprak di radio. Di dalam lakon "Babad Loano" diceritakan tentang sejarah asal muasal desa-desa di Purworejo. Cengkawak kalau tidak salah berasal dari kata "Keong Kawak" artinya keong raksasa, sesuai dengan alur cerita di dalam lakon tsb.

    Saya jadi kangen kampung halaman saya, ingat masa kecil.

    Terima kasih blognya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih komentarnya pak. Tahun 80an saya baru lahir pak heheh, saya dlu jg pernah diceritai ibu ttg keong kawak tp dah lupa detailnya, yg saya ingat jalan keong kawak menjadi tanah rendah / saluran air alami yg akan dialiri air pada musim hujan. Salah satunya corah/jurang kecil ditepi tanah keluarga saya yg berakhir di salah satu kedung di sungai bogowonto. Yg sy ingat ini krn dlu saya membantah cerita ini krn kata simbah kedung itu dlu hanya sungai kecil, sungai besarnya ada di balik tegalan/gal duwur hehehe. Masih ingat cerita keong awak pak? Klo masih ingat boleh berbagi? Walau hanya Sepenggal bisa sbg pelengkap cerita, sukur2klo punya cerita lengkap.

      Hapus
  2. Teng desane kulo nggeh enten sejaarah Mbah Rujak Beling tepatnya di desa Buayan Dukuh Danasri kec.Buayan
    Dan masih ada keturunan Beliau(Mbah Rujak Beling) di desa Buayan Tepatnya di Dukuh Danasri Kulon

    BalasHapus
  3. Tks mbak tulisannya. Aku jadi ingat masa kecil di desa sama simbahku di Bowokan namanya mbah Joyo bakul geblek. Aku dulu tamat dr SDN Cengkawakrejo '81. Dulu apal banget sama pojok pojoknya di desaku. Sarkawak dulu lapangan volly rumput, kadang malam hari ada tontonan sulap dr bakul jamu mobil keliling.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Berarti letinge entung, mulyani,opo dantok aku Amar nek jik inget kono sopo?

      Hapus
  4. senang membaca tanggapan2, dari sedulur2, maaf saya kelahiran palembang, ibu saya asli palembang, ayah saya asli putra cengkawak rejo banyu urip, beliau sdh mangkat, sedikit sekali saya tahu sejarah desanya, mohon sedulur bisa berbagi cerita, sebagai obat rindu kepada ayahanda..terima kasih

    BalasHapus
  5. senang membaca tanggapan2, dari sedulur2, maaf saya kelahiran palembang, ibu saya asli palembang, ayah saya asli putra cengkawak rejo banyu urip, beliau sdh mangkat, sedikit sekali saya tahu sejarah desanya, mohon sedulur bisa berbagi cerita, sebagai obat rindu kepada ayahanda..terima kasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mas palembangnya mana,dan bapak mas siapa namanya, aku asli cenhkawak skrg di Prabumulih, hpku 085267238372

      Hapus
    2. didaerah talang semut atau jln merdeka no hp saya 0812 78215001

      Hapus
    3. didaerah talang semut atau jln merdeka no hp saya 0812 78215001

      Hapus
  6. saya lahir dan besar di palembang, ayah asli orang cengkawakrejo sedangkan ibu saya asli palembang,saya pernah duakali ke cengkawakrejo, benar cerita diatas saya takpernah melewatkan mandi dimbelik jika datang kesana, rumah mbah saya tidak jauh dari mbelik boleh dibilang berhadapan dgn atea pemakaman

    BalasHapus
  7. nama ayahku,Mukrah atau orang sana bilang suryo pawiro

    BalasHapus
  8. Saya lahir di bekasi, ayah saya putra asli desa cengkawakrejo sedikit dapat cerita dari ayah saya dahulu eyang kakung saya seorang carik pertama di desa cengkawakrejo pada zaman belanda.

    BalasHapus
  9. Bapak saya asli cengkawakrejo kelahiran palembang. Mbah kakung saya namanya Joyowasito

    BalasHapus
  10. monggo bersilaturahmi di fb saya Heri Sutanto ( kakcek heri)
    siapa tahu kita masih saudara 🙏🙏

    BalasHapus