Pada jaman dahulu kala, ada sebuah kerajaan kecil di Bali
utara yang bernama kerajaan Wanekeling Kalianget. Di kerajaan itu hidup
keluarga sederhana terdiri dari suami istri dengan tiga oranga anak, dua anak
laki-laki dan satu anak perempuan. Pada suatu masa terjadi wabah penyakit yang
merenggut banyak nyawa dan keluarga tersebut hanya tersisa si bungsu yang
bernama I nyoman Jayaprana.
Raja merasa berduka atas musibah penyakit tersebut dan
memutuskan untuk keliling negri. Saat berada di dusun Jayaprana raja merasa iba
melihat Jayaprana yang sedang menangisi kematian kedua orang tua dan
saudaranya. Raja menjadi teringan dengan mendiang anaknya yang juga meninggal
karena wabah penyakit sehingga raja memutuskan mengangkat Jayaprana sebagai
anak.
Jayaprana dibawa ke istana, diperlakukan sebagai pangeran
dan tumbuh menjadi pemuda yang pandai bertarung dalam lingkungan istana. Karena
ketampananya banyak gadis yang menyukai
Jayaprana. Raja meminta Jayaprana untuk memilih salah satu gadis sebagai
pendampingnya. Mula-mula Jayaprana menolak karena belum ingin menjalin hubungan
asmara tetapi raja terus mendesak, dan Jayaprana akhirnya menurut.
Pada suatu hari Jayaprana berjalan-jalan di pasar dekat
istana dan melihat gadis-gadis berlalu lalang di sana. Jayaprana terpanan pada
gadis penjual bunga anak Jero Bandeso dari Banjar Sekar. Nama gadis tersebut Ni
Komang Layonsari. Jayaprana terus mengamati gadis tersebut, Layonsari yang
merasa diperhatikan berusaha menghindar dengan masuk ke kerumunan orangan.
Setelah kehilangan jejak Layonsari, Jayaprana kembali ke
istana dan menemui raja melaporkan bahwa dia telahmenemukan gadis pujaan hati.
Raja merasa senang dan membuatkan surat untuk diantar Jayaprana ke Jero
Bandeso. Jayaprana segera mengantar dan menyerahkan surat tersebut. Jero
Bandeso segera membaca surat yang isinya lamaran untuk Layongsari. Jero Bandeso
menyatakan kesediaanya menerima lamaran tersebut, Jayaprana segera kembali ke
istana dengan hati berbunga-bunga.
Setiba di istana raja sedang rapat dan Jayaprana menyela
rapat untuk menyampaikan kabar genbira tersebut. Raja tak kalah bahagia dan
langsung membuat pengumuman kepada yang hadir di rabat bahwa beliau akan
membuat upacara perkawinan Jayaprana dengan Layosari pada hari selasa legi wuku
kuning. Raja juga memerintahkan kepada segenap
perbekel untuk mulai mendirikan bangunan-bangunan rumah, balai-balai
selengkapnya untuk Jayaprana.
Tibalah hari perkawinan, Jayaprana dengan diiringi oleh
masyarakat desanya pergi ke rumah Jero Bandeso untuk menjemput Layongsari
dengan upacara adat selengkapnya. Di istana, raja sedang duduk di singgasana,
dihadapanya ada para pegawai kerajaan dan juga para perbekel. Kemudian tibalah
rombongan jayaprana dengan kedua didalam
kereta. Mempelai segera turun dan menyembah raja. Raja terpesona dengan
kecantikan Layongsari hingga tidak mampu berkata apa-apa.
Raja yang telah lama kehilangan permaisurinya diam-diam
tumbuh benih cinta terhadap Layongsari. Raja yang semula adalah raja bijaksana
menjadi gelap mata karena cintanya terhadap Layongsari. Raja diam-diam menyusun
strategi untuk membunuh Jayaprana supaya dapat memperistri Layongsari. Raja
kemudian memerintahkan patin kerajaan yang bernama Sawung Galih untuk
melaksanakan strategi tersebut. Sawung Galih menolak tugas tersebut, tetapi
raja mengatakan bahwa dia akan mati karena bersedih jika tidak bisa memperistri
Layonsari. Sebagai abdi seti Sawunggalih pun menuruti titah baginda.
Strategi raja untuk membunuh Jayaprana adalah memerintahkan
Jayaprana untuk pergi ke teluk trima untuk menyelidiki perahu yang hancur oleh
orang Bajo yang menembak binatang diwilayah Pengulon.
Pada hari ketujuh pernikahannya, Jayaprana diminta menghadap
raja. Jayaprana segera datang menghadap. Raja menceritakan kalau diwilayah
perbatasan ada pemberontakan dan raja memerintahkan Jayaprana memimpin
rombongan bersama patih Sawunggalih untuk menyelidiki di perbatasan teluk
trima.
Sesampainya di rumah Jayaprana menceritakan perintah raja
kepada istrinya. Malam harinya Layonsari bermimpi ada banjir bandang yang
menghanyutkan rumah mereka, begitu terbangun dia menceritakan mimpi buruk itu
ke suaminya. Dia meminta Jayaprana mengurungkan kepergiannya karena merasa mimpi tersebut adalah firasat
buruk. Tetap jayaprana tidak berani menolak titah raja.
Pagi harinya Jayaprana pergi sesuai titah raja. Sepanjang
jalan hatinya tidak tenang, dia merasa ada hal buruk yang akan terjadi
padanya. Sesampainya di hutan teluk
trima patih sawunggalih menyerang Jayaprana. Karena ilmu Jayaprana lebih tinggi
patih tidak mampu mengalahkan Jayapranan. Jayaprana kebingungan dengan serangan
patih sawunggalih dan bertanya kenapa sang patih menyerangnya. Sang patih
menyerahkan suran raja kepada jayaprana yang isinya:
Hai engkau Jayaprana.
Manusia tiada Guna.
Berjalan-jalanlah engkau.
Akulah yang memerintahkan membunuhmu.
Dosamu sangat besar.
Kau telah melampaui tingkah raja.
Istrimu sungguh milik orang besar.
Kuambil kujadikan istri raja.
Serahkanlah jiwamu sekarang.
Jangan engkau melawan.
Loyangsari jangan kau kenang.
Kuperistri sampai akhir jaman.
Jayaprana menagis membaca surat tersebut. Lakukanlah titah
raja, patih. Hamba siap dicabut nyawanya demi kepentingan raja. Dulu beliau
yang merawat dan membesarkan hamba. Jika sekarang beliau menginginkan nyawa
hamba maka akan hamba persembahkan. Jayaprana menyerahkan keris saktinya yang
bisa digunakan untuk membunuhnya.. beliau berpesan agar keris dan berita
kematianya dikabarkan kepada isstrinya , bahwa kematiannya sebagai bukti
baktinya pada titah raja.
Dengan keris milik Jayaprana patih Sawunggalih bisa membunuh
Jayaprana dengan mudah. Ketika keris dihujamkan dan dicabut darah mengucur
dengan deras dan yang tercium bukan bau amis melainkan bau wangi. Alam ikut
menangisi kematian Jayaprana, tiba-tiba terjadi gempa bumi, angin topan, hujan
bunga dan binatang ikut menangis.
Setelah jasad Jayaprana dikubur rombongan kembali ke istana
dengan hati sedih. Ditengah perjalanan muncul harimau putih menyerang
rombongan. Banyak anggota rombongan yang tewas termasuk patih Sawunggalih.
Setibanya rombongan yang mengabarkan kematian Jayaprana,
raja segera menemui Layonsari untuk menyampaikan kabar duka sekaligus melamar
Layonsari untuk menjadi istrinya. Layonsari tidak percaya dengan kabar itu.
Raja kemudian menunjukkan keris Jayaprana yang berlumuran darah. Layonsari
menangis histeris, memaki raja dan merebut keris Jayaprana kemudian menusukkan
keris tersebut ke jantungnya. Layonsari tewas seketika dan dari tubuhnya
mengeluarkan aroma wangi yang menyebar ke pelosok negri hingga ke tempat jasad
Jayaprana dikuburkan.
Jasad Layonsari kemudian dikuburkan bersebelahan dengan
Jayaprana. Jasad sawunggalih juga dimakamkan didekat makam keduanya sebagai
lambang kesetiaan terhadap titah raja.
Raja yang melihat Layonsari menikam jantungnya dengan keris
menjadi sangat sedih dan gelap hati. Raja mengamuk membunuh semua pengiring dan
semua penghuni rumah. Setekah itu raja menikan jantungnya sendiri hingga tewas.
Pengikut raja tidak percaya raja bunuh diri dan menganggap rakyat yang telah
membunuh raja. Para pengikut setia raja segera keluar istana untuk membalas
dendam dengan membunuh rakyat. Rakyat tidak terima dan melakukan perlawanan.
Terjadilah perang saudara yang mengakibatkan seluruh rakyat kalianget tewas
dalam sehari. Wilayah kalianget menjadi daerah tanpa penghuni dengan mayat
bergelimpangan dam bersimbah darah. Seiring berjalanya waktu daerah tersebut
akhirnya berubah menjadi hutan belantara hingga kemudian datang orang dari
daerah lain untuk menetap dan membuka lahan.
Begitulah manusia yang tidak bisa mengendalikan nafsu bisa
membinasakan suatu negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar