Desa kelahiranku berada di tepi sungai Bogowonto. Dari
rumahku ke timur akan bertemu kali Bogowonto, bagian kali yang dinamakan
“Krapyak”. Ke arah utara juga akan bertemu kali Bogowonto, bagian ini disebut
kedung bothol/buthul/ngelo. Entah apa maknanya.
Saya akrab dengan suasana kedung botol walaupun tak berani masuk terlalu ke tengah karena dalam. Seperti namanya kedung, berarti bagian
sungai yang dalam. Saya sendiri heran kenapa tidak berani berenang atau
sekedar masuk ke air yang tingginya melebihin pusaran padahal dari kecil sudah
terbiasa bermain di sungai. Bahkan bapak saya terkenal jago berenang dan
menyelam. Kadang saya bertanya-tanya apakah dulu waktu kecil penah hanyut
sehingga ada trauma/phobia dengan air apalagi jika arusnya deras. Kalau sekedar
melihat saya senang tapi kalau disuruh masuk tak berani hehehe.
Ada cerita ketakutanku pada air… saat kecil sering diajak ke
desa tetangga dan harus menyebrang melalui talang (saluran air di atas sungai),
saya selalu ketakutan dan harus di gandeng. Saat kuliah dengan teman teman ke
pantai parangtritis, hampir semua orang dicegur-cegurin ke air. Saat mau
nyegurin saya tidak tega lihan wajahku yang pusat pasi karena terkena ombak.
Pernah juga main ke kali pelus di belakang kampus dan diajak menyebrang.
Sebenarnya takut tapi karena desakan teman-teman akhirnya nekan ikut
menyebrang. Entah bagaimana tau-tau saya telah hanyut di sungai padahal tinggi
air gak nyampe sepinggang. Dasar wedi banyu.
Sungai bogowonto, bagian dari masa
kecilku. Rumah simbah dari bapak berada di tepi sungai ini, dengan kedung buthul
hanya dipisahkan rumpun-rumpun bambu. Sangat mudah mencari rumah peninggalan
simbahku, rumah di pojok desa, belakang rumah sungai, sebelah kirinya komplek
pemakaman dung buthul, sebelah kanan ada satu rumah milik adik simbah, kalau ke
kanan lagi ada corah (jurang kecil) baru kemudian rumah-rumah yang lain.
Konon dulu arus sungai tidak
melalui belakang rumah melainkan dibalik gal duwur (sekitar 100 m dari posisi
sekarang), yang kemudian dikenal sebagai kali mati. Kali mati karena tidak ada
lagi air yang mengalir kecuali jika terjadi banjir. Kali mati sekarang sudah
hidup kembali berkat keserakahan manusia (lain kali akan saya ceritakan). Dan
tempat aliran sungai yang sekarang, dulunya kebun milik keluarga saya, sehingga
bapak saya sering bilang kalau kali di kedung buthul adalah miliknya.
Suatu
saat ada banjir besar dan arus sungai berpindah ke lokasi sekarang. Dari yang
saya amati bagian sungai ini malah bagian yang paling setabil, ruas-ruas sungai
di atas maupun di bawahnya telah banyak bergeser dari posisi yang dulu. Mungkin
karena struktur tanah di sini tanah wadas yang keras dan dilindungi dengan
rumpun bambu sehingga arus sungai yang deras tidak mampu menggerus tanah
disekitarnya.
Di sebelah atas kedung buthul
bermuara sungai kecil kalau tidak salah namanya kali apus. Sebenarnya sumber
airnya juga dari sungai Bogowonto yang dialirkan ke sungai irigasi “saluran
Boro” melalui bendungan boro. saluran air ini telah dibangun saat penjajahan belanda, dengan arsitek seorang pribumi. kali apus adalah salah satu saluran pengendali banjir dari sungai
irigasi tersebut. Di kali apus dulu banyak pohon kenci (jenis sayuran) hidup
menjalar di kiri kanannnya. Kali ini sekarang sudah rusak oleh para penambang batu.
Dari jendela belakang rumah tampak air Bogowonto yang
tenang, bahkan gemuruh air saat banjir sangat jelas terdengar. Tepat disamping
kiri ada jalan menurun ke sungai yang disebut “lurung kebo”. Saat masih banyak
orang memelihara kerbau, jalan itu sering untuk lewat kerbau (kebo) menuju
sungai.
Setiap pagi dan sore terutama saat musim kemarau sungai di belakan
rumah ramai orang mandi dan mencuci, sampai sekarangpun masih ada beberapa
orang yang mandi dan mencuci di sungai. Kalau sekarang kedung buthul ramai jadi
tempat pemancingan umum gratis. Sebuah kearifan lokal, dengan semakin
berkurangnya biota air warga dan pemerintah membuat kesepakatan di kedung
buthul hanya boleh menangkap ikan dengan memancing.
Saat saya kecil banyak sekali ikan di sungai. Jika bermain
di tepi sungai akan nampak ratusan ikan berenang kian kemari. Diantara
batu-batu kepiting dan udang juga banyak. Mudah sekali mencari udang, jika ada
didekat batu ada gelembung udara, itu artinya ada udang di baliknya. Udang di
balik batu, geser batunya dan tangkap udangnya. Atau jika ada potongan bambu
atau kaleng bekas di dalam air, angkat dengan hati-hati, hampir selalu ada
udang di dalamnya. Ada lagi cara menangkap udang yang lain, gunakan terasi
bakar, taruh di dalam besek (korak dari anyaman bambu), tenggelamkan beberapa
jam di tepi sungai yang dangkal. Tinggal angkat di dalamnya telah ada puluhan
udang (udang kok makan udang (terasi udang)?
Ada lagi ikan lempuk, entah nama nasionalnya apalagi nama
ilmiahnya. Bentuk ikannya tak jauh beda dengan ikan mujaher ataupun ikan emas,
hanya badannya lebih bulat/gilik, tidak banyak mengandung duri seperti
kebanyakan ikan penghuni sungai lainnya. Ikan ini juga bersarang di kedung ini,
tepatnya pas belokan sungai. Mungkin ikan ini sudah punah atau terancam punah.
Bapak sering mencarikan ikan ini spesial buatku yang masih kecil, biyar tidak
menelan duri.
Di lokasi istana ikan lempuk dulu ada delta kecil yang
ditengahnya ada mata air. Jika bapak mencari ikan di siang hari saya sering
ditinggal di delta itu. Wong gak berani masuk ke air yang dalamnya lebih dari
selutut, jadinya ditinggal lamapun saya masih utuh di situ bermain air jernih
dan batu-batu, atau sibuk menangkap ikan – ikan kecil yang terperangkap di mata
air yang saya bendung.
Ada juga bulus, kura-kura air. Biasanya ditangkap dengan
cara dipancing dengan umpan bancet (jenis katak denganbadan gepeng). Sebelum
memancing harus dipastikan dulu daerah tersebut tempat bulus berkeliaran.
Biasanya terlihat bekas tapak bulus yang mirip dengan tapak kerbau. Daging
bulus, daging yang sangat unik. Seratnya melintang berlapis-lapis, setelah
dimasak satu jam lebih daging bulus masih bisa bergerak-gerak, telur yang masih
di dalam tubuh bulus meskipun direbus lama tetap tidak bisa mengeras. Tapi rasa
daging maupun telurnya enak tenan….
Ikan pelus, nila, tawes, lele lokal, kathing, sili dan banyak
jenis ikan lain hidup di sini. Ikan kathing, kata orang ini ikan endemik
Purworejo. Bentuknya hampir menyerupai ikan lele, lengkap dengan kumis dan
pathilnya, soal rasa jauh lebih nikmat. Ikan dari laut pun kadang ada yang bisa
tertangkap di sungai Bogowonto. Entah ikannya kesasar atau memang ada migrasi
ikan. Seperti halnya ikan salmon.
Walau tak berani menapak di kedalaman air bukan berarti saya
tak pernah ada di tengah kedung. Bapak sering mengajak bermain-main di tengah
kedung. Kalau dengan bapak saya berani, mungkin karena sebuah kepercayaan.
Favoritku naik perahu gedebok pisang, pohon pisang di potong dengan panjang
sekitar dua meter, kemudian 2-3 batang disatukan dengan ditusuk batang bambu.
Perahu debok dihanyutkan dengan aku didalamnya, sangat menyenangkan. Ada lagi,
permainan jadi anak katak, bapak berenang dan saya naik di atas beliau. Kusebut
anak katak karena saya sering melihat katak kecil naik di punggung katak besar
yang sedang berenang.
Selain main perang air, perahu gedebok, anak-anak di sungai
juga biasa menciptakan simfoni yang indah. Memukul-mukul air dengan tangan atau
mengadu batu dengan batu di dalam air akan memunculkan berbagai macam bunyi
tetabuhan.
Ada lagi permainan yang tak berani kucoba, “ngungkal”, kalau
orang sekarang bilang arum jeram. Karena sungai Bogowonto memiliki arus bawah,
dari permukaan tampak tenang tapi arus di dalam sangat kuat, permainan ini
tidak bisa dilakukan sepanjang waktu. Biasanya saat musim penghujan, arus
sungai menjadi deras sehingga dapat untuk ngungkal. Anak desa tidak punya
perahu karet, sebagai pengganti perahu digunakan ban dalam mobil. Ban yang
telah dipompa akan dinaiki beramai-ramai, setiap anak harus menjaga
keseimbangan perahu ban ini agar bisa melaju dan tidak oleng saat melewati arus
sungai yang deras. Bukan berarti anak-anak akan marah jika ada salah satu anak
tidak bisa mempertahankan keseimbangan dan perahu terbalik. Justru sebaliknya
jika perahu terbalik dan mereka masuk ke sungai, semua akan tertawa gembira.
Permainan yang cukup berbahaya, apa jadinya jika kepala membentur batu atau ada
yang hanyut? Anak-anak hanya mengenal bahagia. Sayapun bahagia hanya
menyaksikan mereka bermain, mengejar mereka dari tepian sungai dan ikut tertawa
saat mereka terjatuh.
Daerah perbatasan kedung buthul dan krapyak merupakan area
sungai yang tidak tertalu dalam tetapi berlumpur. Karena banyaknya lumpur di
pinggir sungai kangkung liar tumbuh dengan subur. Siapapun yang mau tinggal
petik, bebas tak ada yang memiliki. Kemudian ada sungai kecil bernuara di sana,
“kali Piji” mata airnya dari desa piji. Desa tetangga, wetan kali (timur
sungai) yang sebagian wilayahnya berupa pegunungan terjal di pegunungan
Menoreh. Saya suka bermain di muara kali piji, airnya jernih dan dingin. Banyak
batu-batu unik di sini, banyak sekali batu-batu transparan mungkin batu marmer
atau akik, saya hanya tahu batu-batu itu indah dan sering mengambil untuk di
bawa pulang, kadang ada batu dengan bentuk-bentuk tertentu. Satu lagi banyak
pecahan keramik/porselin, waktu kecil saya hanya berpikir orang Piji
sembarangan membuang pecahan piring ke sungai. Setelah saya benyak membaca
cerita tentang kehidupan disekitar Bogowonto di masa lalu saya baru berpikir
mungkin pecahan-pecahan piring yang dulu banyak betebaran dari sungai piji
hingga di krapyak adalah pecahan keramik dari jaman dahulu yang punya nilai
sejarah. Melihat dari bagian tepi yang telah halus karena gesekan air tidak
mungkin terbentuk hanya dalam waktu beberapa tahun, sedangkan jarak sumber air
dengan lokasi terdapatnya pecahan-pecahan tersebut tidak lebih dari 10 km dan
arusnya deras jadi dalam waktu beberapa bulan tentu telah tiba di tempat
tersebut. Saya jadi menyesal telah membuang semua batu-batu dan pecahan -
pecahan piring yang dulu saya kumpulkan.
Di dekat pertemuan kali piji hingga krapyak sungainya
dangkal dan berbatu-batu.
Banyak ikan-ikan kecil seperti ikan teri yang disebut
sisik melik, kalau terkena cahaya sisik ikan ini akan memantulkan cahaya
tersebut sehingga seperti bercahaya. Ada juga ikan sreni, ikan kecil seukuran
jari, sangat enak dibuat rempeyek atau hanya di goreng. Sama seperti di kedung
buthul disini pun banyak udang dan kepiting.
Kalau habis banjir bagian tepi
sungai menjadi berlumpur, dan banyak kerang air tawar berwarna kuning menancap
di lumpur biasa disebut “kece” besarnya seukuran uang logam 100 rupiah jaman
dulu yang bergambar gunung. Saya senang mengambilnya, masukkan ke air panas
cangkangnya akan membuka dan ambil dagingnya buat di masak. Rasanya gak begitu
enak, alot dan apek.
Krapyak kalau dilihat seperti lautan batu dengan latar
belakang pegunungan menoreh. Kalau siang hari sangat panas, main di krapyak
paling enak sore hari hingga menjelang magrib. Akan tampak penggembala kerbau,
senang rasanya ikut memandikan kerbau. Kalau sekarang pegang kerbau aja gak
berani. Menjelang magrib akan tampak pemandangan menakjubkan, jangan bayangkan
matahari terbenam! Tidak tampak sama sekali. Yang ada seperti latar kumandang
adzan magrib di TV kambing dan domba pulang ke kandang masing-masing, tak ada
penggembala. Saat siang mereka dilepas, dan menjelang magrib pulang tanpa
di suruh. Tanpa orang dewasa saya tak akan berani disini hingga gelap. Masa anak
manusia kalah dengan kambing, saat senja harus pulang tanpa disuruh.
Salam kenal desty erni.. Maaf mengganggu..
BalasHapusKebtulan saya browsing ttg desa cengkawakrejo.. Karena desa itu t4 kelahiran ibu saya
Naa..saya rencana abis lebaran idul fitri mau jalan2 ke purworejo.. Tapi saya udh lama gak pernah ksana..dulu waktu saya masih SD ksana jadi udah lupa
Pdahal saya pengen sekali ke cengkawarejo
Rumah simbah saya dekat SD inpres klw dak salah.. Depan rumah simbah dulu ada MUSHOLA.. Tau gak kira2 erni :)
Klw dari jogja ke cengkawak naik transportasi apaa yaa???
Oiya nama saya AFRIYANTO panggil saja ANTO
BalasHapusAsal dari Provinsi JAMBI (sumatera)
Maaf yaa banyak bertanya..soalnya saya dewasa ini belum pernah pergi kecengkawakrejo lagi..makanya pengen nanya2 khususnya tentang transportasinya
Dibalas yaa erniii..ditunggu balasannya..terimakasih :)
Dr jogja skitar1 jam. Dpt naik bus jurusan purwokerjo atau cilacap, turun di balai desa cengkawakrejo. Kdg kondekturnya gak tau jd klo dah sampai keduren siap2 turun, bilangja boh wesi/balai desa. Kalau pe kantor DPU brerti keblabasan. Bisa juga naik kereta pramex turun di stasiun jenar lalu naik angkudes arah kota, bulang saja turun boh wesi, pasti tau
BalasHapus