Blusuan di kebun, pengalaman yang langka bagi orang kota
tapi jadi tempat bermain menyenangkan anak desa. Bukan Cuma bermain tapi juga
mencari nafkah, gaya banget hehehe…. Saya sebenarnya dilarang ikut blusukan di
kebon tapi apa daya itu lokasi permainan menyenangkan, Badan saya alergi, kalau
habis blusukan seluruh badan bisa gata-gatal dan biduran jadi gak bisa
menyangkal kalau tidak ikut blusukan.
Blusukan mencari makanan eksotis tanah kelahiranku
(nggraga.com), repek (mencari kayu bakar), main bithungan (petak umpet),
mencari gedobos (sejenis kacang-kacangan liar untuk di jual), mencari minjo
atau hanya sekedar jalan-jalan.
Mencari kayu bakar atau disebut repek, sebenarnya tujuan utamanya
bukan untuk mendapatkan kayu bakar tapi hanya untuk bersenang-senang. Rasanya
bangga kalau mendapat banyak kayu bakar, padahal di rumahku kayu bakar
sisa-sisa sampai jika ada saudara atau tetangga hajatan suka minta kayu bakar
dari rumahku. Maklum bapakku tukang kayu jadi kayu sisa membuat aneka barang
dari kayu melimpah.
Kayu bakar faforit pertama adalah “carang”, tangkai daun
bambu. Di dessaya masih banyak kebun bambu yang dibiarkan tumbuh alami.
Tangkai-tangkai daun bambu yang sidah kering atau disebut carang betebaran
dibawah rumpun bambu, apalagi kalau bambunya habis di panen, sangat melimpah.
Wujud carang persis seperti bambu hanya ukurannya kecil dan termasuk kayu yang
mudah terbakar. Kalau tidak beruntung saat mengambil carang bisa terkena
‘lugut’, rambut-rambut halus dari pohon bambu yang rasanya sangat gatal. Walau
gatal jangan dicuci dengan air karena akan semakin gatal, cukup gosokkan bagian
yang gatal pada rambut. Ajaib rasa gatal akan hilang.
Jika musim kemarau duduk-duduk di bawah rumpun bambu sangat
menyenangkan, ‘silir’ angin berhembus segar. Di bawah rimbun bambu seperti
berkarpet hijau tebal nan lembut, penuh lumut spagnum hehe… ada lagi yang
menyebalkan selain lugut yang gatel, yaitu ksayas. Ksayas atau tempat buang air
besar dulu biasa dibuat di tengah kebun bambu. Dulu hanya sebagian kecil warga
yang punya WC di rumah, bayangan orang pasti jorok dan bau. Bau kotoran
manusia? Kalau Ternyata tidak!
Warga Indonesia tempo dulu mempunyai tradisi sendiri untuk
buang air besar. Untuk daerah dengan air melimpah biasa membuat ksayas di atas
kolam, ksayas plung lap, kotoran keluar masuk ke kolam (bunyinya, plung) terus
dimakan ikan (lap : menghilang). Mungkin ini paling ramah lingkungan, tidak
menimbulkan bau, merusak pemandangan dan bermanfaat hehehe…
Kembali ke ksayas di rimbunnya bambu. Ksayas ini dibuat
dengan membuat lubang dan diberi bancian/tempat berpijak dari potongan bambu
serta tepinya diberi pagar dengan anyaman bambu atau tanaman pagar. Orang
dahulu memang cerdas-cerdas mereka bisa memilih membuat ksayas di antara pohon
bambu sehingga tidak menimbulkan bau tidak sedap. Saya baru tahu setelah kuliah
kalau ternyata sifat dari pohon bambu menyamarkan aroma. Kotoran manusia yang
menumpuk akan terdegradasi dengan sendirinya. Aneka biji-bijian yang dimakan
ternyata tidak hancur oleh pencernaan manusia dan akan tumbuh subur di sekitar
ksayas jika musim hujan tiba. Mengambil bibit cabe, tomat, dan terong dari
sekitar ksayas juga bagian dari blusukan di rumpun bambu. Ukuran tanaman di
sini lebuh besar, maklum pupuk organiknya sangat melimpah hehehe…
Pesona rumpun bambu yang lain adalah aneka
temu-temuan/jahe-jahean tumbuh subur diantara rumpun bambu. Dari temu ireng,
temu giri, temu kunci dan temu-temuan lain yang bahkan belum saya temukan dalam
daftar klasifikasi tumbuhan. Entah belum ada atau saya tidak melihat. Jadi
kepikiran kenapa saya dulu gak penelitian “keragaman zingiberaceae di sekitar
kebun bambu” saja ya? Temu-temuan ini laku dijual sebagai bahan obat
(penghasilan tambahan tentunya), untuk temu kunci biasa untuk bumbu sayur
bening. Sebuah kearifan lokal para blusuker, kami hanya mengambil rimpang yang
telah besar dan membuang rimpang kecil sehingga rimpang yang kecil akan tumbuh
kembali dan tidak mengalami kepunahan walaupun banyak yang mengambil tanpa
berpikir (apalagi bertindak) untuk menanam.
Sasaran repek selanjutnya adalah blarak dan blungkeng.
Blarak adalah sebutan untuk daun kelapa kering dan blungkeng sebutan untuk
tangkai daun kelapanya. Sasaran lain adalah mancung atau bungkus bunga kelapa,
cumplung atau buah kelapa muda yang jatuh biasanya kerena dimakan tupai. Soal
perbendaharaan kata orang jawa terlalu kaya, dalam satu pohon kelapa ada banyak
sekali sebutannya. Bonus dari repek bagian pohon kelapa adalah kelapa jatuh
(jika beruntung), bisa lagi dijual sebagai tambahan penghasilan. Sasaran repek
yang lain tidak terlalu menarik, mengambil aneka kayu dan ranting dari pohon
apapun yang ditemui. Tentunya yang sudah mengering atau memisah dari pohon
induk.
Baca juga
dawet ireng
pasar jenar pusat kuliner tradisional
tanah kelahiran 1 cengkawakrejo
brug wesi desa cengkawakrejo
tanah kelahiran 2 bogowonto
nggragase bocah ndeso
Baca juga
dawet ireng
pasar jenar pusat kuliner tradisional
tanah kelahiran 1 cengkawakrejo
brug wesi desa cengkawakrejo
tanah kelahiran 2 bogowonto
nggragase bocah ndeso
Gedobos jadi eling jaman cilikku sd di dukuh dungus grabag kutoarjo cari di kuburan rame2 dijual 1 muk ukuran gelas kecil dihsrgai 200 rupiah wis seneng bgt buat jajan.
BalasHapusKokllo semono thn 88 jajanan isih 25 perak wkwkwk jaman susah tapi byk kenangan