Warga purworejo terutama yang tinggal di daerah Purwodadi, Ngombol, Bagelen
dan Banyuurip tentu tidak asing dengan nama ini. Ya sebuah jembatan
kecil (orang jawa sebut brug/buh) yg berada di jalur selatan pulau jawa,
dari arah Purworejo setelah kantor DPU dan sebelum SMA 3 Purworejo. Tepatnya di desa Cengkawakrejo, kecamatan banyuurip. Jembatan ini
melintasi sungai buatan untuk saluran irigasi.
Banyak jembatan yang diberi nama brug wesi, rata-rata jembatan yang bernama brug wesi memiliki struktur jembatan terbuat dri besi, sedangkan brug wesi di Jalan Jogja-Purworejo ini berbeda . Sepintas brug wesi tidak berbeda dari brug - brug yang lain. Jembatan ini tidak terbuat dari besi melainkan terbuat dari beton dengan aspal diatasnya. Nama brug wesi banyak
membuat orang salah dalam mencarinya dan akhirnya nyasar ke brug-brug wesi yang lain karena wesi (bahasa jawa)
berarti besi sehingga orang mencari jembatan yang terbuat dari besi.
Nama
biasanya memang mencerminkan sosok empunya. Orang - orang yang telah mengetahui tempat ini tanpa tau sejarahnya pun sering bertanya-tanya kenapa disebut brug wesi padahal setruktur jembatan nyat-nyata tidak terbuat dari besi (mungkin hanya kerangkanya saja yang terbuat dari besi hehehehe)
Konon jembatan ini dahulu kala memang terbuat dari besi. Pada masa
penjajahan Belanda kebanyakan jembatan masih terbuat dari kayu, berlainan
dengan jembatan yang terdapat di desa Cengkawakrejo yang sudah terbuat
dari besi. Sehingga jembatan ini terkenal dengan sebutan "Brug Wesi". Ketika pasukan Jepang masuk ke pulau jawa dan merampas harta dan
hasil bumi warga jawa, pemuda Cengkawakrejo dan sekitarnya sepakat
menghancurkan brug wesi agar jalan tersebut tidak bisa dilalui tentara Jepang sehingga bisa menghambat tentara jepang dalam menguasai
Indonesia. Setelah jembatan hancur otomatis akses jalan
Purworejo-Jogjakarta terputus, dan tamat juga riwayat brug wesi. Setelah
indonesia merdeka jembatan tersebut dibangun kembali dengan bangunan
beton. Meskipun tak ada lagi jembatan yang terbuat dari besi jembatan
ini tetap dikenal dengan sebutan brug wesi.
Banyak cerita mistis disekitar brug wesi. daerah ini rawan kecelakaan. menurut cerita penjaga SD Onggosaran (sekarang SD nya telah digabung dengan SD Cengkawakrejo) setiap akan ada kecelakaan pada malam harinya terdengar suara tangisan menyayat. jika beliau telah mendengar itu hari berikutnya akan melarang anak-anak melewati jalan raya dan tak lama kemudian pasti ada kecelakaan dengan korban meninggal atau minimal cacat. banyak juga orang yang nyemplung ke kali saat melewati jalan di selatan buh wesi. kata mereka tidak tampak kalau ada kali di situ yang mampak adalah jalan desa yang lebar dan halus di sedelah kiri sehingga mereke memilih mengambil jalan di kiri dan tau-tau telah masuk ke dalam sungai. kalau orang yang telah paham biasanya setiap ada kejanggalan akan memilih berjalan ditengah-tengah jalan. selain itu kadang juga ada yang menyaksikan ada ular besar katanya sebesar pohon kelapa melintasi jalan tersebut dan tiba-tiba lenyap.
Minggu, 13 April 2014
Tanah Kelahiran I, Cengkawakrejo
Purworejo, punya sejarah panjang bisa ditelusuri dari
peninggalan megalitikum, jaman kerajaan Jawa, jaman kolonial Belanda hingga
masa sekarang. Nama Purworejo sendiri baru muncul jauh setelah wilayah ini
ramai. Dahulu dikenal dengan daerah Bagelen (saat ini nama Bagelen hanya untuk
nama sebuah kecamatan) dengan sungai Bogowonto yg melegenda, bahkan konon saat
jaman kejayaan agama Budha di jawa, sungai Bkemn dengan sungai
Gangga di India. Nama Bogowonto diyakini berasar dari kata begawan karena dulu
di sekitar sungai ini banyak ditemui Begawan (pendeta Budha) yang bertapa.
Saat ini saya tidak akan bercerita tentang Purworejo maupun
bagelen, melainkan hanya akan bercerita tentang desa kelahiranku
“Cengkawakrejo”. Sejak 2 tahun lalu beberapa kali saya coba mencari di mbah
google tentang cengkawakrejo tapi tak pernah mendapatkan cerita masalalu yang
berarti. Sangat berbeda dengan desa-desa disekitarnya seperti Semawung, Piji,
Soko, Bragolan, Candisari, Plandi dan lain-lain yang memiliki cerita dari jaman
kerajaan Mataram maupun jaman penjajahan.
Secara administratif desa Cengkawakrejo termasuk dalam
kecamatan Banyuurip. Tapi jangan tanya tentang daerah Banyuurip karena saya
tidak banyak tahu, memang letaknya cukup jauh dari pusat kecamatan. Mungkin
sebenarnya hanya 3 km jika melalui perempatan niten, tapi jalannya sangat sepi.
Sepanjang jalan hanya mbulak (hamparan sawah), sehingga lebih sering memilih
jalan memutar melalui Boro yang tentu jaraknya menjadi berlipat-lipat (lebih
dari 4x lipat). Dari pada ke kota kecamatan jauh lebih mudah ke kota kabupaten.
Posisinya memang di kecamatan Banyuurip paling ujung,
sebelah selatan berbatasan dengan kecamatan purwodadi, sebelah timur berbatasan
dengan kecamatan Bagelen, dan sebelah timur laut dengan kecamatan Purworejo.
Untuk menuju desa ini dari pusat kota Purworejo terus ke selatan, tepatnya di
jalan raya Purworejo – Yogjakarta atau jalan raya Purworejo – Purwodadi, karena
posisinya yang di jalan Purworejo – Purwodadi banyak yang menganggap
Cengkawakrejo masuk wilayah Kecamatan Purwodadi.
Dari dulu hingga sekarang desaku masih saja sepi. Mungkin
jumlah penduduknya malah berkurang. Cengkawakrejo mempunyai dua sekolah dasar,
SDN Cengkawakrejo atau dikenal dengan SD impres dan SDN Onggosaran. Karena
jumlah siswa yang semakin menurun kedua SD kemudian digabung, SDN Onggosaran
dihilangkan, siswanya dipindah ke SD N Cengkawakrejo. Lokasi bekas SDN
Onggosaran sekarang dijadikan kantor balai desa.
Kantor balai desa yang lama ternyata berdiri di atas tanah
warga di dukuh Bowoan, sehingga sekarang menjadi rumah warga. Konon di tempat
ini dulu berdiri pasar desa “Sarkawak” orang – orang tua (usianya lebih dari 80
tahun) masih sering menyebut daerah ini dengan sebutan Sarkawak. Rumah orang
tuaku berada sekitar 80 meter dari kantor balai desa lama.
Jalan masuk desa ada 3 dari jalan raya Purworejo -
Yogyakarta:
1.
Niten, merupakan perempatan. Ke timur masuk desa
Cengkawakrejo tetapi kemudian jalan buntu. Ke barat melalui mbulak akan tiba di
pusat kecamatan Banyuurip. Ke selatan menuju jogja dan ke utara menuju
Purworejo.
2.
Ki Onggosaran berada di dukuh Onggosaran,
menilik dari namanya sepertinya ini adalah nama orang, tapi entah siapa saya
tidak pernah mendengar kisahnya. Mungkin beliau leluhur warga di sini. Jalan
ini pada akhirnya akan bergabung dengan jalan desa yang ketiga.
3.
Brug/Buh Wesi. Brug atau buh adalah sebutan
untuk jembatan kecil, dan wesi berarti besi. Jalan ini memang berada tepat di
selatan brug wesi. Jangan harap akan menemukan jembatan yang terbuat dari besi,
jembatan ini sama dengan jembatan-jembatan lain yang tersebar di pulau Jawa,
kenapa namanya brug wesi? Lihat pada cerita brug wesi. Di sebelah utara brug
wesi adalah balai desa/bekas SD Onggosaran. Jalan desa ini akhirnya bercabang,
ke kanan/selatan menuju desa lain (Sutomenggalan, Wonoganggu) dan ke kiri/timur
jalan berakhir di sungai Bogowonto.
Desaku berada ditepi sungai Bogowonto. Desa – desa
disepanjang bogowonto telah tercatat dalam sejarah kerajaan-kerajaan di jawa
(baik mataram kuno maupun mataram islam) dan tidak satupun literatur yang aku
temuni menyebutkan nama desaku. Desaku tidak dikenal. Menurutku bukan karena
desaku kala itu belum berdiri, mungkin karena dianggap tidak terlalu penting
atau mungkin menjadi satu kesatuan dengan desa lain.
Yang membuatku berpikir desaku mempunyai sejarah panjang
sama seperti desa-desa disepanjang Bogowonto yang lain adalah
1.
adanaya peninggalan megalitikum, warga
menyebutnya “watu lumpang”, batu berbentuk lumpang, alat untuk menumbuk padi. Konon
pernah ada yang mengambil batu tersebut tetapi kebudian batu itu kembali ke
tempat semula.
2.
Ada makam yang dikeramatkan, terkenal dengan
makam rujak beling. Dulu saya pernah mendengar cerita tentang makam rujak
beling yang banyak diziarahi orang dari luar desa tetapi saya sudah lupa
seperti apa ceritanya.
3.
Ada sumur tua yang disebut mbeji yang airnya tak
pernah kering dan dikeramatkan. Tentu ada cerita dibalik itu.
4.
Ada komplek makam tua. Mungkin banyak warga
cengkawakrejo yang tidak tahu. Posisinya di dukuh dongbotol. Sekitar setengah
kilometer dari komplek makam dong botol. Di dekat kompleks makam tersebut ada
bangunan peninggalan jepang, “sumur Pompo” menurut cerita dulu ada pompa air
yang mengambil air dari sungai Bogowonto untuk dialirkan ke warga. Kalau kita
kesana akan nampak dua makam biasa dengan kijing dari semen tapi jika jeli
memperhatikan daerah sekitarnya yang banyak ditumbuhi pohon jati akan nampak
nisan-nisan tua dari batu cadas yang telah rusak. Menurut simbah yang asli
dongbotol komplek makam tua itu sudah ada sejak beliau kecil dan cukup luas,
sebagian telah tak terlihat bekasnya dan telah menjadi tegalan warga, bahkan
hingga ke area tegalan yang disebut gal duwur yang ada di sebrang sungai.
Saya paling sering melalui kompleks makam tua tetapi tak pernah berani
berhenti di areal tersebut. Ada rasa yang aneh, orang jawa bilang sinup. Saya
tak berani bermain atau sekedar beristirahan di area makam tua bahkan sebelum
saya tahu disitu bertebaran batu-batu nisan tua karena derah itu dulu banyak
ditumbuhi semak belukar. Padahal saya tidak termasuk pengecut. Dari kecil saya
terbiasa dibawa bapak mencari ikan di sungai. Pada malam hari sering ditinggal
sendirian di pinggir bogowonto di bawah area makam dongbotol tanpa rasa takut
sedikitpun padahal banyak yang cerita daerah itu juga angker.
Di tahun 1990an banyak kelompok kesenian tradisional di Cengkawakrejo,
seingat saya ada dolalak putra dan putri, jaran kepang dan ketoprak. Saya masih
ingat setiap malam minggu pasti ada latihan dolalak putri. Jika bulan agustus,
selama sebulan penuh selalu banyak kegiatan. Siang hingga sore rame kegiatan
untuk anak-anak, dari pentas seni anak TK, SD sampai masyarakat umum dan aneka
lomba untuk anak-anak, ibu-ibu PKK maupun karang taruna. Malam hari akan ada
pertunjukan kesenian ketoprak, dolalak, jaran kepang yang dilakukan bergantian.
Akhir tahun 90an kondisi keamanan sangat memprihatinkan, banyak pemuda
yang mabuk-mabukan dan setiap ada pertunjukan kesenian selalu diakhiri dengan
perkelahian sehingga pertunjukan malam dilarang. Kerusuhan menjadi lebih parah
karena banyak pemuda yang berteman dengan anak-anak pesisis pantai selatan
(sejak dulu preman pantai selatan sudah terkenal kejam bahkan jika di daerah
jalan raya dendles ada perampokan ataupun pembunuhan di malam hari polisi baru
berani datang setelah hari terang). Sedangkan warga desa yang umumnya petani hanya
punya waktu mengembangkan kesenian ataupun sekedar menikmati pertunjukan di
malam hari. Akhirnya satu persatu kelompok kesenian membubarkan diri.
Bahkan
karena ulah warga, pabrik kayu yang ada di dekat jalan ki onggosaran menjadi
bangkrut dan tutup. Bagaimana pabrik tidak rugi jika banyak warga yang meminta
kayu ke pabrik bahkan ada warga yang terang-terangan mengambil alat-alat
pabrik. Dengan ditutupnya pabrik banyak warga menjadi pengangguran dan merantau
ke daerah lain. Karena jumlah pemuda banyak berkurang keamanan desa berangsur
angsur pulih kembali.
Kamis, 10 April 2014
Pasar Jenar, Pusat Kuliner tradisional Purworejo
Pasar Jenar,
terletak di jalan raya Purwodadi - Purworejo tepatnya di desa
Jenar, strategis karena kalau naik angkutan umum bisa langsung turun di
depannya. Seperrti umumnya pasar-pasar tredisional, pasar
Jenar mempunyai hari-hari khusus ‘hari pasar’nya yaitu Minggu, Selasa dan
Jum’at. Terus hari biasa gimana? Hari-hari biasa selain hari pasarnya itu
disebut ’warungan’ artinya tetap ada orang dagang tapi tak se‘pepak’ atau
selengkap hari pasar yang 3 hari itu. Apa yang dijual? Semua ada, dari jajanan
tradisional yang langka nan ndesooo, sayuran, buah, gerabah, gula jawa, sampai baju,
alat dan bibit pertanian, dan hewan ternak. Jika menginginkan produk
lautan anda bisa mendapatkan ikan, cumi, udang, kepiting (tergantung musim)
dalam kondisi segar hasil tangkapan nelayan pantai selatan.
Pasar Jenar
telah mengalami beberapa kali renovasi, dulu sebelum direnovasi lantai
bangau-bangau (tempat berjualan yang dibuat agak tinggi) masih berlapis nekel
tetapi sekarang sudah berkeramik. Jalan di dalam pasar dulu saat aku kecil
hanya berupa batu-batu yang halus disusun landai dan masih tampak
tanah-tanahnya sehingga saat musim hujan di dalam pasar pasti becek, tetapi
sekarang telah diratakan dengan semen sehingga tidak sebecek dulu. Saat aku
kecil di belakang pasar terdapat tanah yang agak lapang, sering kali digunakan
untuk pertunjukan layar tancap.
Di wilayah
Purwodadi - Bagelen sebenarnya ada 3 pasar tradisional yang cukup besar
yaitu: pasar Jenar dan pasar Purwodadi (wilayah Kec. Purwodadi) dan pasar
Krendetan (Kec. Bagelen) . Tetapi di antara ketiganya yang paling rame dan
masyhur adalah pasar Jenar untuk wilayah Purworejo. Mengapa? Mungkin
karena strategis, terjangkau dan murah. Tidak jaug dari stasiun kereta api
Jenar,dan mudah di jangkau dari pusat kota Purworejo. Banyak juga pedagang dan
pembeli berasal dari luar kecamatan seperti dari kota Purworejo, Kutoarjo,
Banyuurip. Ramee gitu. Bahkan ada pedagang dari kulon progo yang berdagang di
pasar jenar.
Yang menjadi
incaran utamaku jika ke pasar Jenar adalah jajanan pasar. Makanan khasnya sego
peneg atau sekul peneg khas Ngandul. Saya juga gak tau, kenapa untuk
wilayah Jenar- Bagelen, makanan ini sangat dinikmati dan sering diomongin oleh
perantau . Padahal apa si sego peneg itu? Nasi, sayur nangka muda bumbu lodeh
biasanya dibungkus daun jati, tempe-ayam, telur bumbu opor putih yang
dapat kita buat sendiri, tetapi akan jadi beda: lebih nyuus kalau itu dimasak
ala Ngandul; nama padukuhan di desa Jenar Wetan. Dan konon resepnya
hanya orang Ngandul turun temurun yang tahu! Yang akrap dengan nasi peneg juga
orang-orang purworejo sebelah kidul (selatan), kalau orang lor (utara) banyak
yang tidak tau apa itu nasi penek.
Ada juga
cerita tentang terjadinya peneg Ngandul ini, konon katanya modifikasi dari
gudeg Jogja yang coklat hitam rasanya manis menjadi putih-merah dengan
rasa pedes dan gurih. Memang tak bisa disangkal karena Bagelen
(Purworejo) dahulu adalah wilayah Kraton Mataram, bahkan nama Bagelen
lebih top dari nama Purworejo, karena dulu nama sebuah kabupaten di
wilayah Mataram.
Lanting jenar,
Purworejo memang terkenal dengan lanting, ada banyak farian lanting di kota
kelahiranku ini. Cemilan berbahan dasar ketela, sebagian besar dari pati ketela
atau parutan ketela yang dibentuk cincin ataupun angka delapan yang digoreng
kering dengan rasa renyah. Berwarna putih atau diberi pewarna merah, dan
sekarang telah muncul dengan berbagai rasa. Lanting jenar tetap punya tempat
tersendiri di lidahku, terbuatnya bukan dari pati tela murni tapi justru trempos
(ampas sisa pembuatan pati) sehingga rasanya kecoklatan dan sangat keras
terutama jika masih berbentuk lingkaran penuh, tapi jika lingkaran telah pecah
rasanya sangat renyah. Sifat aneh ini yang dulu sering kugunakan ngerjain teman
sewaktu kuliah. Untuk yang belum pernah makan jika aku beri lanting pasti milih
yang masih utuh bahkan gak terima jika aku beri remuaan (yang telah pecah) dan
akhirnya protes dengan kerasnya lanting yang aku katakan enak. Ada dua jenis
lanting Jenar satu ukurannya kecil dan dijual dengan diikat tutus (tali dari
serat bambu), sebenarnya bukan diikat tapi disendati (disatukan dengan
memasukkan tali ke dalam lubang lanting) aku gak tahu apa bahasa Indonesianya. Yang
satunya lagi berukuran besar dan tidak membentuk bulatan tetapi lonjong, biasa
dijual kiloan dengan dibungkus plastik.
Clorot,
jajanan pasar khas pesisir Purworejo berupa jenang (seperti jeli) dari tepung, kalau
jaman dulu biasa pake pati ganyong (Canna
sp.) tapi pati ganyong semakin langka sehingga sekarang banyak yang menggunakan
tepung terigu, rasanya manis gurih karena mengandung santan dan diberi gula
merah. Yang khas dari clorot adalah bungkusnya, terbuat dari janur (daun kelapa
muda) yang dibentuk lilitan seperti trompet. Untuk menikmati clorot tidak perlu
menbuka bungkusnya, cukup tusuk bungkus dari bagian bawah dan bungkus janur
akan melipat dengan sendirinya.
Kue lompong,
kue ini sudah jarang ditemukan di pasar Jenar tatapi masih banyak dijual di
toko oleh-oleh sepanjang Purworejo, kuenya berwarna hitam dengan bungkus klaras
(daun pisang kering), warna hitam pada makanan ini berasal dari pewarna alami
daun lompong (batang tanaman sejenis talas) dan juga sari dari abu uman
(tangkai padi yang dibakar)
Tempe bengok
bacem, sejenis tempe dengan bahan baku biji bengok yang dimasak sengan cara di
bacem atau direbus dengan bumbu-bumbu dan gula jawa. Pohon bengok termasuk
pohon kacang-kacangan yang merambat dengan daun seperti daun bengkoang. Biji bengok
muda berambut halus dan sangat gatal yang biasa sisebut krawe, cara pembuatan
tempenya tidak jauh beda dengan pembuatan tempe kedele.
Growol, rasa
makanan ini sebenarnya enak tetapi aromanya sangat tidak saya sukai. Jenis makanan
fermentasi yang konon sangat baik untuk kesehatan saluran pencernaan. Dibuat dari
ketela kupas yang direndam dalam air hingga berbau busuk dan lunak, ketela yang
telah lunak kemudian dihancurkan dengan tangan dan ditiriskan. Setelah itu di
cetak membentuk bongkahan besar yang biasa disebut ompak karena bentukknya
seperti penyangga tiang pada rumah joglo dan dibungkus daun pisang lalu dikukus
hingga matang. Growol biasa dinikmati dengan urap kelapa, makanan ini juga
biasa sigunakan sebagai makanan utama bagi orang daerah purworejo yang sedang
puasa mutih (puasa tidak makan nasi dan garam, biasanya dilakukan pada bulan
suro).
Gathot, juga
terbuat dari ketela yang difermentasi rasanya kenyal dan tidak berbau seperti
growol. Bedanya ketela di kokrok (diparut besar-besar), cara fermentasinya juga
dengan direndam air tetapi tidak sampai hancur dan ditiriskan beberapa hari
sehingga warnanya kecoklatan. Pengilahannya juga dengan dikukus.
Dawet ireng,
minuman yang sedang naik daun di purworejo ini juga dapat ditemukan dengan
mudah di pasar jenar dengan harga yang terjangkau. Jika anda beli di sepanjang
jalan utama Purworejo satu porsi berkisar 5.000 hungga 10.000 rupiah, di pasar
jenar dawet ireng bisa diperoleh dengan harga Rp 2.000 jauh lebih murah dengan
rasa yang mantap.
Selain makanan
– makanan diatas sebenarnya masih banyak makanan tradisional yang bisa
didapatkan di pasar jenar. Jika anda ingin berburu panganan tradisional
Purworejo tidak salah jika mendatangi pasar Jenar, tapi jangan kesiangaan
karena pasar ini hanya rame di pagi hari, apalagi jika musim panen padi jajanan
pasar banyak diborong untuk bekal ke sawah.
Langganan:
Postingan (Atom)